Sabtu, 12 Januari 2019

PENGEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK DAN MENGANALISIS KAITANNYA DENGAN KONSEP KECERDASAN DAN PERAN DARI PEMATANGAN DAN BELAJAR


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Pendidikan dilakukan manusia sepanjang hayatnya atau dikenal dengan istilah long life education. Makna kata tersebut mengharuskan manusia untuk menjalani pendidikan selama manusia tersebut melakukan tugasnya setiap hari. Pendidikan anak usia dini merupakan jenjang pendidikan usia 0-6 tahun.
Usia 0-6 tahun merupakan masa peka bagi anak sehingga para ahli menyebutnya masa golden age, karena perkembangan kecerdasannya mengalami peningkatan yang sangat pesat dan sebagai penanaman karakter dimasa usia anak mencapai dewasa.
Pendidikan karakter pada anak usia dini dilakukan melalui penanaman kebiasaan tentang perilaku yang baik dalam kehidupan, sehingga anak memiliki kesadaran dan pemahaman yang tinggi, kepedulian serta menerapkan kebaikan dalam kehidupan sosial.
Perilaku sosial merupakan aktivitas yang dilakukan dengan berhubungan pada orang disekitar kita, baik itu keluarga, teman, guru dan masyarakat. Ketika anka berhubungan dengan orang lain maka akan terjadi interaksi sosial yang dapat memacu emosi yang diwujudkan dalam suatu tindakan.
Emosi merupakan suatu keadaan perasaan yang bergejolak dalam diri seseorang yang disadaridan diungkapkan melalui tindakan. Dalam pengungkapan emosi anak dalam kehidupan sosial maka dibutuhkan adanya evaluasi atau penilaian baik buruknya perilaku anak tersebut. Maka dari itu kami akan membahas tentang pengembangan sosial emosional pada anak usia dini.

B.     Rumusan Masalah
            Adapun rumusan masalah berdasarkan latar belakang diatas adalah sebagai berikut :
1.      Apakah yang dimaksud dari pengembangan sosial emosional anak usia dini ?
2.      Bagaimana konsep kecerdasan anak usia dini ?
3.      Apa pengertian peran pematangan dan belajar anak usia dini?
4.      Analisis pengembangan sosial emosional terhadap konsep kecerdasan dan peran pematangan belajar ?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan masalah berdasarkan rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pengembangan sosial emosional anak usia dini
2.      Untuk mengetahui konsep kecerdasan anak usia dini
3.      Untuk mengetahui peran pematangan dan belajar anak usia dini
4.      Untuk mengetahui analisis pengembangan sosial emosional terhadap konsep kecerdasan dan peran pematangan belajar














BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK

Pengembangan Sosial
            Perkembangan sosial anak prasekolah ditandai dengan bermulanya perkembangan persahabatan. Pada umumnya ketika anak berusia 4 tahun, mereka sudah dapat menjaga persahabatan yang dibina. Ketika berhadapan dengan temanya, anak akan menunjukan sikap yang sering kali lebih sabar, lebih mudah bekerja sama, lebih positif dan lebih sedikit menunjukan ketidak setujuan (Stroufe, Cooper dan De Hart ,1992 Dikutip Drisscoil,2005), Kemampuan anak untuk memulai dan menjaga persahabatan mereka ini mengisyaratkan kepada kita bahwa anak memiliki preferensi sosia atau dengan kata lain anak sudah memulai kecenderungan untuk memilih teman bermainya.
            Selain memiliki prefensi sosial, anak usia 3-4 tahun juga mulai mengembangkan kompetensi sosial. Kompetensi atau kecakapan sosial dapat di artikan sebagai kemampuan anak untuk turut serta dalam kelompok teman sebaya, menyukai dan memiliki ke inginan untuk di trima sebagai bagian dari suatu kelompok bermain, serta kemampuan untuk berinteraksi dengan teman sebaya mielaui cara saling menguntungkan dan memuaskan.
            Prefensi sosial dan keacakapan sosial yang dimiliki oleh anak sejalan dengan tahapan perkembangan psikososialnya. Seoraang tokoh psikologi perkembangan, erikson (1902-1994) yang menyumbangkan pikiraanya mengenai 8 tahapan perkembangan psikososial mengemukakan baahwaa anak usiia pra sekolah (3-5 taahun) berada dalam tahap ke tiga, yaitu tahap prakarsa atau inisiatif dan rasa bersalah (initiative versus guilt ). Ketika memasuki usia prasekolah anak akan memaasuki suatu dunia sosial yang lebih luas di bandingkan usia sebelumnya. Anak biasanya sudah mulai memasuki lembaga pendidikan yang memungkinkan mereka berinteraksi dengan orang-orang di luar struktur keluarga, seperti ibu guru dan teman sebaaya. Seiring dengan perkembangan motoriknya yang lebih matang, anak akan lebih bebas bergerak dan bersemangat untuk mencoba berbagai cara damka memaknai kondisi dan lingkunganya. Anak akan mienerima sejumlah taanggung jawab yang lebih menantang, seperti tanggung jawab terhadap prilaku yang diperbuat atau mainan yang dimiliki. Pengembangan taanggung jawab ini akan menimbulkan prakarsa atau inisiatif dalam diri anak. Inisiatif tersebut di pergunakan oleh anak untuk mencapai berbagai macam tujuan yang di inginkanya. Tidak semua tujuan yang diinginkan oleh anak akan tercapai seluruhnya. Adanya sejumlah hambatan dan atau penundaan tersebut akan mengakibatkan anak menjadi rasa bersalah. Selain itu, perasaan bersalah dapat juga muncul jika anak tidak di beriakan kepercayaan dan dibuat merasa sangat cemas dalam mencapai tujuanya. Konflik yang terjadi antara inisiatif dan perasaan dalam diri anak tersebut menjadi ciri dominan dalam perkembangan psikososial anak prasekolah. Bila inisiatif berkembang tanpa dibatasi dengan perasaan bersalah maka akan berdanpak pada kurangnya prilaku bermoral pada diri anak. Sebaliknya, apabila perasaan bersalah yang dominan maka anak menjadi terlalu di kekang. Namaun demikian, Erikson menyakini secara positif bahwa perasaan bersalah dalam diri anak akan dengan cepat tergantikan oleh perasaan berhasil. Secara lebih terinci. Dodge, Colker, dkk. (2002) menjabarkan rangkaian perkembangan sosial (social developmental continuum ) yang utuh pada anak usia 3-5 tahun pada table berikut.
Tujuan Perkembangan
Rangkaian Perkembangan (3-5 tahun)
1
2
3
4
Menunjukkan inisiatif sendiri dan kebebasan
Menyatakan tujuan kebutuhannya dan keinginanya (dapat dalam bentuk non verbal)
Memilih dan menjadi lebih dalam suatu aktivitas berdasarkan beberapa pilihan yang diajukan
Menyelesaikan tugas yang lebih rumit dalam suatu proyek pilihan sendiri dengan bantuan orang dewasa
Menyelesaikan dan mengajarkan tugas pilihannya sendiri tanpa bantuan orang dewasa
Menerima tanggung jawab pribadi dengan baik
Mengizinkan orang dewasa untuk merawat kebutuhan pribadinya, seperti memakai baju atau mencuci tangan tanpa perlawanan.

Menggunakan kemampuan menolong diri sendiri dengan orang dewasa, seperti minyikat gigi, menggantungkan
jaket dengan bantuan.
Menggunakan kemampuan menolong diri sendiri dengan sekali-kali dinginkan.
Menggunakan kemampuan menolong diri sendiri dan partisipasi dalam pekerjaan tanpa perlu diingatkan.
Mengerti pentingnya kemampuan menolong diri sendiri dan peran dirinya dalam kehidupan yang sehat.
Menghormati dan merawat lingkungan dan peralatan di dalam kelas.
Menggunakan dan mengeskplorasi peralatan dalam jangka waktu yang singkat dengan bantuan orang dewasa atau mandiri
Berpartipasi dalam merapikan peralatan yang rutin digunakan ketika diminta.
Menggunakan permainan dengan cara yang layak.
Memindahkan benda yang tidak diperlukan sebelum memulai aktivitas selanjutnya
Mulai menunjukkan tanggung jawab merawat lingkungan kelas.
Mengikuti aktivitas rutin dalam kelas.
Bersedia mengikuti perpindahan alur kegiatan




Mengikuti aktivitas dalam kelas dengan bantuan, seperti perlu digunakan, petunjuk menggunakan gambar, atau bantuan fisik.
Berpartisipasi dalam kegiatan di dalam kelas (seperti membereskan peralatan, toilet training)
mengerti dan mengikuti tata cara di dalam kelas tanpa paksaan.
Mengikuti dan mengerti tujuan tata cara di dalam kelas.
mematuhi peraturan di dalam kelas
Mengikuti arahan sederhana dan batas waktu yang diberitahukan oleh orang dewasa.
Mengikuti aturan dalam kelas dengan diingatkan
Mengerti dan mengikuti peraturan di dalam kelas tanpa perlu diingatkan
Mengikuti dan mengerti alasan peraturan di dalam kelas
Pengembangan Emosional
            Seperti halnya orang dewasa, anak usia 3-4 tahun telah mampu mengekspresikan perasaanya. Setiap saat, anak mencoba mencari perhatian kita dengan berbagai macam bentuk reaksi emosional, seperti marah,senang,ataupun sedih. Antara usia 2-3 tahun, anak mulai menggunakan sejumlah istilah untuk menunjukan emosinya (Ridgeway, Waters & Kuczaj dikutip Santrock, 2001).Bahkan pada usia 3-4 tahun,anak tidak hanya sekedar mempunyai kosakata yang cukup dalam menunjukan emosinya, akan tetapi mereka sudah mulai memplajari tentang penyebab dan konsekuensi dari perasaan tersebut. Hurlock mendeskripsikan anak-anak pada masa kanak-kanak awal  (3-5 tahun ) cendrung menunjukan emosi, seperti marah, takut,cemburu, ingin tahu, iri hati, gembira, sedih dan kasih saying dengan latar belakang sebagai berikut.
a.       Marah
            Perilaku marah yang muncul pada anak cendrung disebabkan oleh perselisihan tentang permainan dengan teman  dan tidak tercapainya keinginan serta serengan hebat dari orang lain. Pengungkapan kemarahan disalurkan melalui tangisan,teriakan, dan gertakan atau dengan kegiatan fisik, seperti melompat-lompat menendang,dan memukul.
b.      Cemburu
Adik yang baru lahir ketika anak masi berusia 3-4 tahun sering kali menjadi sumber kecemburuan. Anak menyangka bahwa perhatian orang lain beralih karna kehadiran adik baru itu. Anak berasa orang tua tidak lagi memperhatikan, mengacuhkan dan peduli dengan keadaan dirinya. Bentuk ungkapan cemburu yang dilakukan anak pada umumnya untuk menarik perhatian orang agar kembali menyukainya. Salah satu tanda bahwa anak cemburu adalah menunjukan berperilaku kembali seperti anak kecil, seperti pura-pura sakit,dan mengompol,dan menjadi lebih sulit diatur.
c.       Iri hati
            Penyebab iri hati anak pada umumnya adalah keinginan untuk memiliki benda yang sama yang dimiliki oleh orang lain. Ungkap iri hati dimunculkan dalam berbagai macam cara, seperti mengeluh tentang barang yang dimilikinya, menyatakan keinginanuntuk mempunyai benda, seperti yang dimiliki oleh anak lain atau dengan mengambil benda yang menimbulkan rasa iri hati.
d.      Sedih
            Bisanya rasa sedih terjadi karna anak kehilangan sesuatu yang dicintai, disayangi atau di anggap penting, baik merupakan orang yang dicintainya maupun benda mati atau hewan peliharanya. Untuk kesedihan di ungkapkan melalui tangisan dan hilangnya minat terhadap kegiatan tang menjadi rutinitasnya
e.       Takut
            Ekspresi khas dari rasa takut anak di ungkapkan melaui rasa panic yang dapt pula diikuti dengan kegiatan, seperti berlari, bersembunyi, menangis, dan menghindar dari situasi yang menakutkan. Situasi yang menakutakan,antara lain disabkan oleh ingatan yang kurang menyenagkan dan memicu rasa takut, seperti cerita, gambar, film yang menimbulkan persaan yang menyeramkan(horror).
f.       Ingin tahu
            Maw and maw yang di kutip Hurlock menjelaskan bahwa anak menunjukan rasa ingin tahu dengan cara (1) bereaksi secara positip terhadap unsure-unsur yang baru, aneh, tidak layak atau misterius dalam lingkunganya dengan bergerak kearah benda tersebut,mengeceknya atau memainkanya ; (2) memperlihatkan kebutuhan atau ke inginan untuk lebih banyak mengetahui tentang dirinya sendiri atau lingkungan; (3) mengamati lingkungan untuk mencari pengalaman baru : (4) menekuni, memeriksa atau menyelidiki rangsangan dengan maksud untuk lebih banyak mengetahu seluk beluk unsure-unsur tersebut.
g.      Kasih sayang
            Reaksi  emosional terhadap seseorang benda atau hewan yang dicintai oleh anak dapat ditunjukan dengan perhatian yang hangat baik di ucapkan secara lisan atau dalam bentuk fisik, seperti memiliki sesuatu yang di cintai.
h.      Gembira
            Eksperesi gembira di tampakan oleh anak karna beberapa alasan, seperti bunyi yang ttiba-tiba atau ktidak di harapkan, membohongi orang lain dan berhasil melaksanakan sesuatu tugas yang di anggap sulit. Kegembiraan di tenjukan dengan bertepuk tangan,tertawa, lompat-lompat dan memelul benda atau orang yang membuat rasa bahagia.
Pengembangan Sosial Emosional Anak
            Hingga saat ini masih banyak orang tua dan masyarakat yang meyakini bahwa IQ merupakan satu-satunya hal yang menentukan keberhasilan masa anak. Mereka akan bangga apabila anaknya mempunyai tingkat kecerdasan inteligensi di atas 120. Rasanya seluruh dunia sudah berada di genggaman. Padahal, jika dipahami lebih lanjut, tes IQ umumnya hanya menggali kemampuan dasar logika bahasa dan matematika. Setelah menjalani berbagai macam pengujian maka seseorang akan dinilai tingkat kecerdasannya apakah sangat cerdas, cerdas, rata-rata atau kurang cerdas?. Dari anggapan di atas akan diramalkan keberhasilan bidang akademik atau kariernya kelak.
            Masih banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa ada faktor dominan lain disamping IQ, yaitu EI. Baru-baru ini telah berkembang pandangan lain yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi keberhasilan (kesuksesan) individu dalam hidupnya yang paling dominan bukan semata-mata ditentukanoleh tingginya kecerdasan intelektual. Akan tetapi ditentukan oleh faktor, kematangan emosi yang oleh ahlinya disebut Emotional Quatient atau kecerdasan emosi (Daniel Goleman, 2001) hal  tersebut berdasarkan pengamatannya bahwa banyak orang yang cerdas ternyata mengalami kegagalan di bidang akademis,dalam karier, juga dalam kehidupannya. Itu semua disebabkan mereka kurang memiliki kecerdasan emosi. Tidka sedikit orang sukses dalam hidupnya karena mereka memiliki kecerdasan emosi meskipun intekigensinya hanya pada tingkat rata-rata.
            Dengan demikian, betapa pentingnya seseorang memiliki kecerdasan emosi sehingga ia dapat hidup dengan tentram dalam lingkungan sosialnya. Pengembangan kecerdasan emosisemakin eprlu dipahami, dimiliki, diperhatikan mengingat kondisi kehidupan pada saat ini semakin kompleks dan memberikan dampak yang sangat buruk terhadap perkembangan kehidupan emosi dan sosial anak. Hasil survey terhadap para pendidik menunjukkan ada kecendrungan yangs ama di seluruh dunia, yaitu generasi sekarang lebih banyak memiliki kesulitan emosi daripada generasi sebelumnya. Generasi sekarang lebih kesepian dan pemurung lebih beringasan, kurang memiliki sopan santun, mudah cemas, gugup, serta lebih implusif (Djawad Dahlan, 2000)
            Implikasi dari pernyataan itu adalah anak perlu dibekali keterampilan emosi dan sosial, ayitusuatu kemampuan untuk mengenali, mengilah, dan mengontrol emosi sehingga dapat merespon dengan baik setiap kodnisi yang merafsang munculnya emosi-emosi tersebut. Dengan demikian, individu yang mempunyai kecerdasan emosi akan lebih mampu untuk mengatasi berbagai masalah yang timbul selama proses perkembangannya,kemudian dengan memiliki keterampilan emosi dan sosialnya, ia akan lebih mampu mengatasi berbagai tantangan emosi di kehidupan modern saat ini.[1]
            Pengembangan sosial emosional pada anak usia dini dapat dilakukan melalui bebrapa cara, diantaranya adalah sebagai berikut :
a.       Mempelajari artifak
Untuk mendapatkan konsep dalam pengembangan sosial, anak dapat diberikan tugas untuk mempelajari artifak atau benda-benda bersejarah yang memiliki nilai kebudayaan tinggi dalam kehidupan manusia.artifak tersebut dapat berupa alat permainan, pakaian, sepatu, alat-alat memasak yang dapat di gunakan oleh anak untuk membandingkan apa yang mereka tahu tentang benda-benda tersebut yang di gunakan oleh komunitas lainya dibelahan dunia yang lain. Hal ini berarti pula bahwa artifak tidak selalu berupa peninggalan benda bersejarah yang telah  berusia ratusan tahun.pendidik dapat menggunakan sovenir dari mancan negara untuk memperkenalkan kepada anak tentang budaya yang ada di dunia. Tugas yang dapat di berikan pada anak adalah meminta mereka untuk menggali pemahaman mereka tentang artifak tersebut.

b.      Merayakan hari ulang tahun
Merayakan ulang tahun sebenarnya bukan merupakan ritual yang harus di laksanakan. Akan tetapi, pendidik dapat menciptakan suasana khusus untuk hari kelahiran untuk anak-anak. Pendidik tidak perlu meminta orang tua untuk menyiapkan beragam pernak pernik ulang tahun, tetapi pendidik dan anak-anak yang akan menyelenggarakanya.pendididk dapat memberikan tugas kepada anak yang tidak berulang tahun untuk menyiapkan pesta sedarhana bagi anak yang berulang tahun, seperti membuat mahkota, menghias hadiah sedarhana, mendekorasi bangku khusus untuk anak yang berulang tahun.
c.       Buletin bantuan
Bulletin bantuan merupakan papan bulletin yang di desain untuk menunjukan tindakan saling tolong menolong yang telah di lakukan oleh seorang anak terhadap temannya pada hari-hari tertentu. Pendidik dapat member tugas kepada anak (dan dengan kesepakatan bersama) untuk menyiapkan dirinya dalam membantu teman-teman. Pendidik dapat membuat papan bulletin dan menempelkan foto anak dan benda-benda konkret sebagai symbol bantuan yang akan diberikan oleh anak kepada teman-temanya, seperti membersihkan meja makan atau melipat serbet makan.[2]
B.     KONSEP KECERDASAN
            Howard Gardner (1993) menegaskan bahwa skala kecerdasan yang selama ini dipakai, ternyata memiliki banyak keterbatasan sehingga kurang dapat meramalkan kinerja yang sukses untuk mas depan seseorang. Menurut Gardner, kecerdasan seseorang meliputi unsur-unsur kecerdasan matematika logika, kecerdasan bahasa, kecerdasan musikal, kecerdasan visual spasial, kecerdasan kinestetis, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis. Secara rinci masing-masing kecerdasan tersebut dijelaskan sebagai berikut.

1.      Kecerdasan Logis Matematis
            Kecerdasan logis matematis memuat kemampuan seseorang dalam berpikir secara induktif dan deduktif, berfikir menurut aturan logika, memahami dan menganalisis pola angka-angka, serta memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan berfikir. Peserta didik dengan kecerdasan logis matematis tinggi cenderung menyenangi kegiatan menganalisis dan mempelajari sebab akibat terjadinya sesuatu. Ia menyenangi berpikir secara konseptual, misalnya menyusun hipotesis dan mengadakan kategorisasi dan klasifikasi terhadap apa yanh dihadapinya. Peserta didik semacam ini cenderung menyukai aktivitas berhitung dan memiliki kecepatan tinggi dalam menyelesaikan problem matematika. Apabila kurang memahami, mereka akan cenderung berusaha untuk bertanya dan mencari jawaban atas hal yang kuranh dipahaminya. Peserta didik ini juga sangat menyukai berbagai permainan yang banyak melibatkan kegiatan berfikir aktif, seperti catur dan bermain teka-teki.
2.      Kecerdasan Bahasa
            Kecerdasaan bahasa memuat kemamouan seseorang untuk menggunakan bahasa dan kata-kata, baik secara tertulis maupun lisan, dalam berbagai bentuk yang berbeda untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya. Peserta didik dengan kecerdasan bahasa yang tinggi umumnya ditandai dengan kesenangannya pada kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan suatu bahasa sepetti membaca, menulis karangan, membuat puisi, menyusun kata-kata mutiara, dan sebagainya. Peserta didik seperti ini juga cenderung memiliki daya ingat yang kuat, misalnya terhadap nama-nama orang, istilah-istilah baru, maupun hal-hal yang sifatnya detail. Mereka cenderung lebih mudah belajar dengan cara mendengarkan dan verbalisasi. Dalam hal penguasaan suatu bahasa baru, peserta didik ini umumnya memiliki kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan peserta didik lainnya.
3.      Kecerdasan Musikal
Kecerdasan musikal memuat kemampuan seseorang untuk peka terhadap suara-suara nonverbal yang berada disekelilingnya, termasuk dalam hal ini adalah nada dan irama. Peserta didik jenis ini cenderung senang sekali mendengarkan nada dan irama yang indah, entah melalui senandung yang dilagukannya sendiri, mendengarkan taperecorder, radio, pertunjukkan orkestra, atau alat musik yanh dimainkannya sendiri. Mereka juga lebih mudah mengingat sesuatu dan mengekspresikan gagasan-gagasan apabila dikaitkan dengan musik.
4.      Kecerdasan Visual-Spasial
            Kecerdasan visual-spasial memuat kemampuan seseorang untuk memahami secara lebih mendalam hubungan antara objek dan ruang. Peserta didik ini memiliki kemampuan, misalnya untuk menciptakan imajinasi bentuk dalam pikirannya atau kemampuan untuk menciptakan bentuk-bentuk tiga dimensi seperti dijumpai pada orang dewasa yang menjadi pemahat patung atau arsitek suatu bangunan. Kemampuan membayangkan suatu bentuk nyata dan kemudian memecahkan berbagai masalah sehubungan dengan kemampuan ini adalah hal yang menonjol pada jenis kecerdasan visual-spasial. Pesertad didik yang demikian akan unggul, misalnya dalam permainan mencari jejak pada suatu kegiatan di kepramukaan.
5.      Kecerdasan kinestetis
            Kecerdasan kinestetis memuat kemampuan seseorang untuk secara aktif menggunakan bagian-bagian atau seluruh tubuhnya untuk berkomunikasi dan memecahkan berbagai masalah. Hal ini dapat dijumpai pada peserta didik yang unggul pada salah satu cabang olahraga, seperti bulu tangkis, sepakbola, tenis, renang, dan sebagainya, atau bisa pula tampil pada peserta didik yang pandai menari, terampil bermain akrobat, atau unggul dalam bermain sulap.
6.      Kecerdasan Interpersonal
            Kecerdasan interpersonal menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan orang lain. Mereka cenderung untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain sehingga mudah bersosialisasi dengan lingkungan di sekelilingnya. Kecerdasan semacam ini juga sering disebut sebagai kecerdasan sosial, yang selain kemampuan menjalin persahabatan yang akrab dengan teman, juga mencakup kemampuan seperti memimpin, mengorganisasi, menangani perselisihan antar teman, memperoleh simpati dari peserta didik yang lain, dan sebagainya.


7.      Kecerdasan Intrapersonal
            Kecerdasan intrapersonal menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan dirinya sendiri. Ia cenderung mampu untuk mengenali berbagai kekuatan maupun kelemahan yang ada pada dirinya sendiri. Peserta didil semacam ini senang melakukan intropeksi diri, mengoreksi kekurangan maupun kelemahannya, kemudian mencoba untuk memperbaiki diri. Beberapa di antaranya cenderung menyukai kesunyian dan kesendirian, merenung, dan berdialog dengan dirinya sendiri.
8.      Kecerdasan Naturalis
            Kecerdasan naturalis adalah kemampuan seseorang untuk peka terhadap lingkungan sendiri, misalnya senang berada di lingkungan alam yang terbuka, seperti pantai, gunung, cagar alam, atau hutan. Peserta didik dengan kecerdasan seperti ini cenderung suka mengobservasi lingkungan alam seperti aneka macam bebatuan, jenis-jenis lapisan tanah, aneka macam flora dan fauna, benda-benda angkasa, dan sebagainya.[3]
            Anak berbakat oleh sebagian orang sulit ditentukan, sebab keterbakatan anak biasanya tumbuh selain faktor hereditas atau bawaan, juga sebagai akibat bentukan lingkungan dimana anak berada. Bahkan, jika melihat perjalanan hidup orang-orang ternama yang telah banyak menyumbangkan karyanya bagi kepentingan masyarakat dunia, ternyata keberbakatan mereka sejak kecil kurang nampak. Sebagai contoh perjalanan hidup Thomas Alva Edison yang pada waktu berumur enam tahun ditolak gurunya dari sekolah karena mereka mengganggapnya sebagai abnormal dan sakit jiwa.
            Karena kehidupan Thomas Alva Edison yang tidak pernah damai di sekolah, ibunya mengeluarkan dari sekolah dan di didiknya di rumah. Ternyata di kemudian hari Thomas Alva Edison menemukan listrik, lampu, fonograf, dan mikrofon.


Pemahaman Tentang Keberbakatan dan Kemampuan Anak Berbakat
1.      Individu, lingkungan, dan intervensi
A)    Individu
            Perkembangan diri ( Development of selfhood) individu merupakan fase aktif, karena mencakup semua pengalaman dalam interaksi dengan lingkungan yang menjadikan manusia sadar tentang eksistensinya sebagai seorang individu yang berbeda dari individu lain.
            Pada saat bayi berumur tiga bulan, sudah kelihatan betapa baik atau kurang baik lingkungan memengaruhi perkembangan intelektual seseorang bayi. Para peneliti telah mengamati bahwa berbagai tes pada saat ini sampai batas tertentu, sudah dapat meramalkan perkembangan bahasa di masa yang akan datang dan kualitas interaksi dengan lingkungan serta ciri-ciri kepribadian yang ikut menentukan pola belajar di masa datang. Ada sementara peneliti yang menganggap masa ini sangat merugikan bayi, karena individu itu masih sangat bergantung pada pengaruh lingkungan dalam hal stimulasi intelektual. Bukan hanya jumlah stimulasi yang memengaruhi perkembangan individu, tetapi justru kualitas interaksinya. Interaksi yang bermakna khusus adalah penting, karena perilaku dan respons bayi secara langsung merupakan sebab dari hasil interaksi itu.
            Dalam hal ini, stimulasi intelektual sangat dipengaruhi oleh keterlibatan emosional, bahkan emosi juga amat menentukan perkembangan intelektual selanjutnya. Secara timbal balik faktor-faktor kognitif juga terlibat dalam perkembangan emosional, bahkan emosi juga amat menentukan perkembangan intelektual selanjutnya.
            Einstein(1978,dalam Clark, 1986) menambahkan, peran pengalaman intelektual adalah menyeleksi antara jaringan yang ditimbulkan oleh aparatus genetis ketika terjadi perkembangan otak. Apabila spektrum lengkap dari pengalaman itu tidak diperoleh oleh organisme, kemungkinan fungsi-fungsi itu tidak bekerja dengan baik akan terjadi. Periode sensitif perkembangan otak manusia berada pada interval umur 3-10 bulan, 2-4 tahun, 6-8 tahun, 10-12/13 tahun, dan 14-17 tahun (Clark,1986).

B)    Lingkungan
            Permasalahan individu terjadi karena munculnya secara progresif struktur yang merupakan hasil interaksi antara organisme dan lingkungan. Dalam mendeskripsikan peranan masing-masing faktor genetik dan lingkungan atau keturunan dan lingkungan, sering hal itu dideskripsikan sebagai “keturunan versus lingkungan”. Namun, menyajikan lingkungan yang baik sebenarnya adalah mengindahkan sifat-sifat alamiah si individu, sebab bagaimanapun perkembangan individu banyak ditentukan oleh benih dari mana ia berasal. Potensi yang dibawa sejak lahir dengan keterbatasannya harus menjadi perhatian dalam peran yang dimainkan dalam interaksi dengan lingkungan.
            Lingkungan adalah segala sesuatu yang bersifat eksternal terhadap diri individu, karena lingkungan merupakan sumber informasi yang diperoleh melalui pancaindra. Semua informasi diteruskan ke otak melalui saluran-saluran neuro-fisiologis, semula sebagai implus elektro kimiawi yang menjadi isyarat tertentu, kemudian dimodifikasi dalam bentuk bahasa tertentu. Namun, tidak semua informasi diterima oleh otak. Suatu mekanisme yang disebut perangkat mental merupakan sistem penyaring yang menerima atau menolak informasi yang diperoleh melalui pengindraan sebelum mencapai otak. Mekanisme itu secara langsung atau tak langsung juga merupakan mekanisme mempertahankan diri untuk menyerap informasi dengan reaksi yang dihasilkan oleh pengalaman masa lalu.
C)    Intervensi
            Istilah intervensi menunjuk pada dimensi informasi yanh diatur melalui pembelajaran tertentu, pertumbuhan, dan perubahan perilaku (Khatena,1992). Namun, intervensi juga menunjuk pada ciri-ciri lingkungan yang paling berpengaruh dalam membentuk individu dan merupakan hasil dari respons individual terhadap lingkungan sosial. Dalam suatu lingkungan yang menghasilkan stimulasi dan nutrisi yang cukup, faktor genetis akan memperlihatkan pertumbuhan fisik yang mungkin lebih baik daripada generasi sebelumnya.[4]
            Banyak contoh di sekitar kita membuktikan bahwa orang yang memilki kecerdasan saja atau banyak memilki gelar yang tinggi belum tentu sukses berkiprah di dunia pekerjaan. Bahkan seringkali yang berpendidikan formal lebih rendah ternyata banyak yang lebih berhasil. Kebanyakan program pendidikan hanya berpusat pada kecerdasan akal (IQ), padahal yang diperlukan sebenarnya adalah bagaimana mengembangkan kecerdasan hati, seperti ketangguhan, inisiatif, optimisme, kemampuan beradaptasi yang kini telah menjadi dasar penilaian baru. Saat ini begitu banyak orang berpendidikan dan tampak begitu menjanjikan, namun karirrnya mandek. Atau lebih buruk lagi tersingkir akibat rendahnya kecerdasan hati mereka.
            Saya ingin menyampaikan sesuatu hal yang terjadi di Amerika Serikat tentang kecerdasan emosi. Menurut survey nasional terhadap apa yang diinginkan oleh pemberi kerja, bahwa keterampilan teknik tidak seberapa penting dibandingkan kemampuan dasar untuk belajar dalam pekerjaan yang bersangkutan. Diantaranya adalah kemampuan mendengarkan dan berkomunikasi lisan, adaptasi, kreatifitas, ketahanan mental terhadap kegagalan, kepercayaan diri, motivasi, kerjasama tim dan keinginan untuk memberi kontribusi terhadap perusahaan. Saya tambahkan lagi pendapat seorang praktisi kaliber internasional, Linda Keegan, salah seorang Vice President untuk pengembangan eksekutif Citibank di salah satu negara Eropa mengatakan bahwa kecerdasan emosi atau EQ harus menjadi dsar dalam setiap pelatihan manajemen.
            Dari hasil tes IQ, kebanyakan orang yang memiliki IQ tinggi menunjukkan kinerja buruk dalam pekerjaan, sedangkan yang ber-IQ sedang, justru sangat berprestasi. Kemampuan akademik, nilai raport, predikat kelulusan pendidikan tinggi tidak bisa menjadi tolak ukur seberapa baik kinerja seseorang sesudah bekerja atau “Testing For Comptence” bahwa “seperangkat kecakapan khusus seperti empati, disiplin diri, dan inisiatif akan menghasilkan orang-orang yang sukses dan bintang-bintang kinerja”.
            Saat ini, perusahaan-perusahaan raksasa dunia sudah menyadari akan hal ini. Mereka menyimpulkan bahwa inti kemampuan pribadi dan sosial yang merupakan kunci utama keberhasilan sesorang adalah kecerdasdan emosi. Sekarang yang menjadi masalah, apakah anda jujur kepada diri anda sendiri? Seberapa cermat anda merasakan perasaan pada diri anda? Seseringkah anda tidak memperdulikannya? Menurut hadits yang diriwayatkan oleh H.R. Muslim, Nabi Muhammad menyatakan :
“Dosa Membuat Hati Menjadi Gelisah”.
            Inilah kunci dari kecerdasan emosi anda, kejujuran pada suara hati. Suar hati inilah yang sebenarnya dicari oleh Stephen Covey di dalam bukunya “The Seven Habits of Highey Effective People” atau yang lebih dikenal dengan “The Seven Habits”. Ini yang seharusnya dijadikan sebagai pusat prinsip yang akan memberikan rasa aman, pedoman, daya, dan kebijaksanaan. Menurutnya: “Disinilah anda berurusan dengan visi dan nilai anda. Disinilah anda menggunakan anugerah anda, - kesadaran diri (self awareness) – untuk memeriksa peta anda, dan apabila anda menghargai prinsip-prinsip yang benar bahwa paradigma anda adalah berdasarkan pada prinsip dan kenyataan, disinilah anugerah anda – suara hati – sebagai kompas”.[5]
            Salovery menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya, seraya memperluas kemampuan ini menjadi lima wilayah utama :
1.      Mengenali emosi diri. Kesadaran diri- mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal yang penting bagi wawasan pemahaman diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan kita yang sesungguhnya membuat kita berada dalam kekuasaan perasaan. Orang yang memiliki keyakinan yang lebih tentang perasaannya adalah pilot yang andal bagi kehidupan mereka, karena mempunyai kepekaan lebih tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya atas pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi, mulai dari masalah siapa yang akan dinikahi sampai ke pekerjaan apa yang akan diambil.
2.        Mengelola emosi. Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan pas adalah kecakapan yang bergantung akan kesadaran diri. Orang-orang yang buruk kemampuan nya dalam keterampilan ini akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan dan kejauhan dalam kehidupan.
3.        Memotivasi diri sendiri. Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri dan untuk berkreasi. Kendali diri emosional – menahan  diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Dan mampu menyesuaikan diri dalam “flow” memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala bidang. Orang-orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.
4.        Mengenali emosi orang lain. Empati, kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri emosional merupakan “keterampilan bergaul dasar”. Orangyang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki oranglain. Orang-orang seperti ini cocok untuk pekerjaan-pekerjaan keperawatan, mengajar, penjualan, dan manajemen.
5.        Membina hubungan. Seni membina hubungan, sebagian besar merupakan keterampilan dan ketidakterampilan sosial dan keterampilan-keterampilan terntentu yang berkaitan. Ini merupakan keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antar pribadi. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan ini akan sukses dalam bidang apapun yang mengandalkan pergaulan yang mulus dengan oranglain, mereka adalah bintang-bintang pergaulan.
            Tentu saja kemampuan orang berbeda-beda dalam wilayah-wilayah ini. Beberapa orang diantara kita barangkali amat terampil menangani kecemasan diri sendiri misalnya, tetapi agak kerepotan merendam kemarahan orang lain. Landasan di balik tinkgat kemampuan ini tentu saja adalah saraf, tetapi sebagaimana akan kita lihat, otak bersifat plastis-sangat mudah dibentuk dan terus menerus belajar. Kekurangan-kekurangan dalam keterampilan emosional dapat diperbaiki sampai ke tingkat yang setinggi-tingginya dimana masing-masing wilayah menampilkan bentuk kebiasaan dan respons yang dengan upaya yang tepat dan dapat dikembangkan.[6]
Batasan kecerdasan sosial emosional pada anak
            Menyelami batasan dan konsep kecerdasan sosial emosional membutuhkan ketajaman khusus karena lingkup kajiannya cukup kompleks, dinamis dan cenderung dipengaruhi oleh unsur sosial-budaya, cara pandang dan metode kerja para ahli dalam bidang tersebut. Terutama jika pengungkapan batasan tersebut mengarah kepada identifikasi unsur-unsur yang melingkupinya. Walaupun pada akhirnya yang akan dinyatakan secara tegas sebagai konsep dalam tulisan ini adalah kata/symbol kecerdasan emosi, tetapi berdasarkan penelusuran penulis atas berbagai sumber yang beragan, kecerdasan emosi tidak berdiri sendiri dan tidak dapat dipisahkan dengan kecerdasan sosial. Kedua konsep tersebut bersifat kohesif (menyatu) dan tidak dapat dipisahkan secara tegas satu epr satu. Karena suatu kecerdasan emosi akan dipengaruhi oleh individu jika kecerdasan itu terefleksi dan teraktualisasi dalam kehidupan sosialnya. Dengan dmeikian, perilaku sosial merupakan ukuran nyata kecerdasan emosi, dan sebaliknya kecerdasan emosi akan terungkap secara factual jika digali melalui perilaku sosial dan kehidupan anak. Atas kelekatan yang begitu kuat antara dimensi kecerdasan emosi dan kecerdasa sosial maka pada identifikasi rincian perkembangan maupun unsur-unsurnya kadang-kadang dalam berbagai dokumen sering ditemukan dengan uraian yang menyatu menggunakan judul perkembangan sosial emosional. Uraian tersebut akan semakin banyak ditemukan dalam tulisan-tulisan berbentuk manual, pedoman pengembangan, termasuk dalam dokumen kurikulum.untuk uraian selanjutnya karena sudah cukup popular dengan kecerdasan emosi maka istilah tersebutlah yang akan digunakan, meskipun tetap harus dibaca termasuk didalam unsur-unsur yang terkait dengan bidang sosial.
            Lalu apakah sesungguhnya yang dimaksud dengan kecerdasan emosi itu? Istilah kecerdasan emosi pada mulanya dikemukakan oleh ahli psikolog yaitu Peter Salover dari Universitas Harvard dan John Mayer dari Universitas of New Hampshire. Mereka mengatakan bhawa kecerdasan emosi memiliki kualitas-kualitas emosi yang penting bagi suatu keberhasilan. Selanjutnya dalam menjelaskan pandangannya itu, kedua ahli tersebut menunjukkan kualitas-kualitas apa yang dimaksud. Mereka setidaknya terdapat sevelas indicator-indikator kualitas, yaitu kualitas:
1.      Empati (melibatkan persaan orang lain)
2.      Dalam mengungkapkan dan memahami perasaan
3.      Dalam megalokasikan rasa marah
4.      Kemandirian
5.      Dalam kemampuan menyelesaikan diri
6.      Disukai atau tidak
7.      Dalam kemampuan memecahkan masalah antar pribadi
8.      Ketekunan
9.      Kesetiakawanan
10.  Kesopanan
11.  Sikap hormat
            Akan tetapi dalam perkembangannya, konsep kecerdasan emosi baru dikenal secara luas pada pertengahan tahun 90-an dengan diterbitkannya buku karya Daniel Goleman yang berjudul Emotional Inteligence pada tahun 1995. Sebenarnya Daniel Goleman telah melakukan riset kecerdasan emosi (EI) cukup lama, yaitu lebih dari sepuluh tahun. ia menunggu waktu untuk memunculkan dan menggunakan bukti ilmiah yang kuat dalam peluncuran bukunya. Usaha Goleman tdiak sia-sia, peluncuran bukunya yang ditunjang hasil penelitian tersebut mendapat sambutan positif yang luar biasa, baik dari akademisi maupun praktisi (Lowrence E, Shapiro, 2001). Dalam tempo dingkat bukunya terjual jutaan eksemplar di seluruh dunia dan hingga kini telah diterjemahkan ke dalam verbagai bahasa di dunia.
            Ia ingin membuktikan bahwa kecerdasan emosi memang betul sebagai penentu (dominan faktor) keberhasilan individu dalam kehidupannya. Ternyata, berdasarkan hasil peneltiiannya, terbukti secara signifikan bhawa individu yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi akan menjadi anak yang lebih bahagia, lebih eprcaya diri, lebih popular, dan lebih suskes di sekolah dan di masyarakat. Individu tersebut lebih mampu menguasai gejolak emosinya, lebih dapat menjalin hubungan baiknya dengan orang lain (bersosialisasi), lebih dapat mengelola stress dan memiliki kesehatan mental yang lebih baik (Goleman, 2001)
            Berdasarkan kajian di atas secara kosneptual, kecerdasan emosi dapat dibatasi pengertiannya sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemmapuan memotovasi diri sendiri, serta kemampuan mengelola emosi dan perilaku sosial dengan baik pada diri senduru dan dalam membina hubungan dengan orang lain (Agus Nggermanto,2001).[7]
Unsur karakteristik kecerdasan sosial emosional pada anak
            Pada uraian tentang kosnep kecerdasan meosi, sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, sebagian unsur dan karakteristik kecerdasan emosi sudah dapat dikenali. Misalkan saja, kite telusuri konsep yang diajukan Peter Salovey dan John Mayer terdapat uraian tentang unsur dan ciri yang seharusnya melekat pada konteks kecerdasan emosi. Dengan kata lain ciri-ciri yag dapat dikenalo untuk memahami kecerdasan emosi diantaranya adalah berbagai kualitas emosi seseorang yang meliputi:
1.      Empati (melibatkan persaan orang lain)
2.      Dalam mengungkapkan dan memahami perasaan
3.      Dalam megalokasikan rasa marah
4.      Kemandirian
5.      Dalam kemampuan menyelesaikan diri
6.      Disukai atau tidak
7.      Dalam kemampuan memecahkan masalah antar pribadi
8.      Ketekunan
9.      Kesetiakawanan
10.  Kesopanan
11.  Sikap hormat
            Jadi, anak yang mempunyai kecerdasan emosi akan memiliki ciri yang berbeda dengan anak lain seusianya, di mana ciri-ciri tersebut dapat dijadikan sebagai ukuran. Sebagai pembanding, berikut adalah ciri-ciri kecerdasan emosi berdasarkan hasil identifikasi yang diungkapkan oleh Daniel Golemam (2001). Ia menyampaikan bahwa anak yang mempunyai kecerdasan emosi memiliki karakteristik sebagai berikut:
  1. Mampu memotivasi diri
  2. Mampu bertahan menghadapi frustasi
  3. Lebih cakap untuk menjalankan jaringan informalnya/nonverbal (memiliki tiga variasi, yaitu jaringan komunikasi, jaringan keahlian dan jaringan kepercayaan)
  4. Mampu mengendalikan dorongan hati
  5. Cukup luwes untuk menemukan cara/alternative agars asaran tetap tercapai atau untuk mengubah sasaran jika sasaran semula muskil dijangkau
  6. Tetap memiliki kepercayaan yang tinggi bahwa segala sesuatunya akan beres ketika sedang mneghadapi tahap sulit
  7. Memiliki empati yang tinggi
  8. Mempunyai keberanian untuk memecahkan tugas yang berat menjadi tugas yang kecil yang mudah ditangani
  9. Merasa cukup banyak akal untuk menemukan cara dalam meraih tujuan
            Uraian dan perincian tentang unsur dan karakteristik kecerdasan emosi yang lebih sistematis pemetannya disajikan oleh Yusuf (2001)dan tampaknya pemetaan yang beliah paparkan merupakan suatu sintesis (kesimpulan) daris ejumlah pandangan ahli yang mendalami bidang ini yang berhasik ia kumpulkan.
Strategi Mengorganisasi Pengembangan Kecerdasan Sosial Emosional Anak
Secara umum, strategi memiliki pengertian bagaimana menyiasati atau menentukan bergabagai tindakan yang dianggap efektif dalam mencapai suatu tujuan secara gemilang. Berhasil tidaknya suatu strategi yang dipilih akan sangat tergantung kepada kemampuan guru dalam mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah digariskan. Jika pekerjaan guru diawali dengan sekuat tenaga untuk memahami berbagai rambu-rambu yang telah digariskan, kemudian menerjemahkan ke dalam pratik secara konsisten maka hampir dapat dipstikan bahwa kerja guru tersebut akan mendapatkan hasil sesuai dengan yang diharapkan.
Organisasi kegiatan untuk pengembangan kecerdasan esmosi, secara umum relatif sama dengan kebutuhan untuk mengorganisasi kegiatan pembelajaran lainnya. Terutama jika organisasi keinginan yang dimaksud ditunjukan untuk peserta didik pada level yang sama. Apabila level karakteristiknya sama maka perkembangannya akan mendekati kesamaan juga. (Anda akan menemukan bagaimana mengeorganisasi kegiatan belajar di TK secara utuh pada Modul 7). Satu hal yang terpenting bagi para guru adalah memahami rambu-rambunya dan kekhasan dari setiap bidang pengembanga yang akan ditanganinya. Agar para guru tidak tergelincir pada penyediaan lingkungan belajar yang kurang sesuai atau bahkan keliru maka khusus pada bidang pengembangan kecerdasan emosi diberikan sejumlah pedoman yang selayaknya diperhatikan, yakni sebagai berikut:
1.      Kegiatan diorganisasikan berdasarkan kebutuhan, minat, dan karakteristik perkembangan anak yang menjadi sasaran pengembangan kecerdasan emosi. Saijan lengkap tentang hal ini dapat dipelajari pada Modul 6 yang terkait dengan prinsip orientasi perkembangan, bahwa kegitan yang dianggap tepat apaila dapat mengkomodasi tahapan dan tugas-tugas perkembangan anak.
2.      Kegiatan yang diorganisasikan bersifat holistik (menyeluruh). Kegiatan bukan hanya semata-mata ditujukan langsung untuk memacu perkembangan kecerdasan emosional anak, tetapi juga harus memperhatikan dimensi kesehatan, keamanan, dan kenyamanan anak dalam beraktivitas.
3.      Kegiatan diorganisasikan sesusai dengan kondivitas pengembangan kecerdasan emosi, di antaranya dikondisikan dalam suasana kekeluargaan (friendship), suasana yang penuh kasih sayang, suasana yang penuh kesejukan dan kedamaian, tetapi tetap dapat menepatkan setiap kompenen secara bertanggung jawab atas setiap peran yang dipegangnya.
4.      Kegiatan diorganisasi pada suasana yang dapat memberikan kesempatan pada anak untuk menyampaikan gagasan-gagasannya, memberikan kesempatan pada anak untuk memberikan masukan dalam pengambilan keputusan.
5.      Tugas guru diarahkan untuk membiing dan menfasilitasi bukan untuk mengatur berbagai perilaku sacara otoriter.
6.      Peraturan kelas diorganisasikan secara jelas batas-batasnya sehingga tumbuh kesadaran untuk menaatinya secara utuh dan bertanggung jawab.
7.      Pembimbingan dan kegiatan memfasilitasi dilakukan dengan penuh kasih sayang sehingga dapat mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat dan mampu bersosialisasi dan berkomunikasi secara efektif. Kasih sayang yang dimaksud di sini adalah kasih sayang normatif dan penuh ketulusan, yang berarti kasih sayang yang menyediakan situasi yang baik bagi perkembangan emosi anak.
8.      Organisasi kegiatan juga member kesempatan dan mengajurkan agar orang tua dapat berpartisipasi dengan anak-anaknya dalam kegiatan sekolah.
9.      Komunikasi dan hubungan yang dibangun menciptakan suasana yang tidak menuntut penilaian, tetapi menarik, menggairahkan, dan menunjukkan penerimaan sehingga dapat member landasan memadai dalam pertumbuhan sosial emosi.
            Demikian strategi umum dalam mengorgnisasikan kegiatan untuk kepentingan kecerdasan emosi, sedangkan secara khusus dapat disesusaikan dengan situasi dan kondisi yang menyertainya. Kecerdasan emosi seperti yang telah dipaparkan sebelumnya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan perlakuan. Agar setiap anak dapat berkembang kecerdasan emosinya secara lebih matang, harus dilakukan sejumlah cara dan langkah terkait khusus. Di antara tindakan yang dianjurkan oleh Tartusi (1997) dan oleh Jamil (2002), terdapat beberapa hal yang harus prasekolah, di antaranya berikut ini.
1.      Menjadi contoh yang baik.
            Untuk menjadi contoh bagaimana mengola emosi yang baik, guru harus menguasai bidang yang sedang diajarkan. Asahlah kecerdasa emosi guru secara terus-menerus melalui berbagai pengalaman sehari-hari. Anak akan mempelajari proses pembelajaran emosi, selaib dengan mendengarkan dan melakukan nasihat guru, juga dengan mengamati dan meniru hal-hal yang dilihatnya pada diri guru, bagaimana guru mengola emosi, menangani problema, mengkomunikasikan harapan, dan sebagainya.
2.      Mengajarkan pengenalan emosi.
Kemampuan memahami perasaan sendiri membuat orang memiliki kepekaan tinggi dalam pengembilan keputusan, juga dalam beberapa hal lain. Untuk mengajarkan hal itu, perhatian dan kepekaan terhadap anak merupakan syarat utama. Jika anak yang biasanya menyukai mainan mobil-mobilan tampak tak terniat lagi pada mainan favoritnya, kita bisa mengatakan, “Lho, kok tumben, mainanya ditinggal sendirian disitu, kenapa? Lilo bosan ya? atau “Jangan-jangan Lilo lagi kesel nih …”. Tanggapan seperti  ini, akan membuat mengenali perasaan yang sedang dialaminya.
3.      Menanggapi perasaan anak.
            Apabila setiap perasaan anak didengarkan dan ditanggapisecara pas, anak akan merasa bahwa dirinya merupakan sosok yang penting di mata orang tuanya. Apabila ditanggapi, diperhatikan, dan dipahami si anak akan merasa yakin bahwa ia diterima, dikehendaki, dan dianggap penting dilingkungannya. Jadi, sebagai pendidik emosi yang baik, kita harus tanggap terhadap perasaan anak. Biarkan anak tahu bahwa kita memahami perasaannya.


4.      Melatih pengedalian anak.
            Dalam sebuah penelitian, sekelompok anak dikumpulkan. Pada mereka diberikan dua pilihan, boleh langsung mengambil satu permen yang enak. Lalu ke luar ruangan, atau menunggu beberapa menit dan bisa mendapatkan dua permen. Kelompok langsung terbagi dua, mereka yang langsung ingin mendapatkan permen (dan segera menghabiskannya) dan mereka yang bersedia menunggu untuk mendapatkan dua permen. Setelah di amati bertahun-tahun kemudian, anak-anak di kelompok kedua ternyata berkembang menjadi popular, menyenangkan, suskes dalam pergaulan sosialnya. Hal sebaliknya terjadi pada kelompok pertama. Apa yang membedakan mereka? Anak di kelompok kedua yang mau menunggu beberapa menit agar mendapatkan permen tambahan ternyata memiliki keunggulan. Mereka mampu menunda pemuasan keinginan. Kemampuan tersebut memang penting oleh karena itu, para guru harus dapat melatihkannya pada anak, tentunya dengan cara-cara dan pengorganisasian yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
5.      Melatih pengelolaan emosi.
            Kemarahan hendaknya jangan dikubur tanpa diberi saluran karena hasilnya adalah timbunan yang bisa meledak secara dahsyat. Namun, membiarkan setiap kemarahan langsung tersalur begitu saja juga tidak tepat. Kemarahan harus di kelola seperti kata aris toteles, siapa pun bisa marah. Marah itu mudah, akan tetapi marah pada orang yang tepat, dengan kadar yangs sesuai dengan waktu yang tepat, demi tujuan yang benar dan dengan cara yang baik, bukanlah hak yang mudah. Memang, mengelola emosi secara pas baik itu kemarahan atau kegembiraan sungguh tidaklah mudah. Tidak tercipta begitu saja, mesti melalui proses panjang dan intensif. Namun, sekali terkuasai maka kemampuan ini akan sungguh melicinkan jalan anak menuju masa depan. Keterampilan ini membuang kemungkungkinan terjadinya hal-hal yang tak mengenakan dan emrugikan karena kegagalan mengelola emosi.
6.      Menerapkan displin dengan konsep empati.
            Empati merupakan kemampuan pergaulan yang amat mendasar. Orang yang berempati akam lebih mampu mengungkap sinyal sosial tersembunyi tentang kebutuhan dan keinginan orang lain.sinyal ini bisa ditangkap lewat nada suara, raut wajah dan hal lainnya. Empati anak ini bisa dikembangkan setiap hari lewat percakapan-percakapan ringan.
7.      Melatih keterampilan komunikasi.
            Salah satu bagian dari kecerdasan emosi adalah kemampuan berkomunikasi dengan orang lain. Kemampuan di bidang ini, seperti menyatakan gagasan, perasaan dan konsep kepada orang lain, kemmapuan bergaul dan menyesuaikan diri harus dilatih sejak dini. Sering-seringlah untuk mengundang anak mengemukakan pendapat ataupun perasaannya, lalu dengarkan dan tanggapi.
8.      Mengungkapkan emosi dengan kata-kata.
            Luapan emosi yang tidak terungkap secara fokus dan jelas bisa mengarah pada perilaku deskriptif. Anak yang tidak bisa mengungkapkan bahwa dia sesungguhnya ”merasa cemburu karena mainan adik atau temannya lebih bagus” bisa jadi akan bertindak agresif, dengan merusakan mainan adik/temannya.
9.      Memperbanyak permainan dinamis
            Permainan yang melibatkan beberapa anak akan mempertajam kemampuan bersosialisasi anak, juga bisa mneguji daya tahan emosi anak selama proses bermain. Dengan permainan yang dinamis, anak belajara memusatkan perhatian lebih pada proses yang baik, bukan pada hasil akhir. Jika keadaan menerima kemenangan dan kekalahan sering berlangsung dan dirasakan, anak tidak kaan terkaget-kagetlagi dengan kondisi apa pun. Emosi anak pun menjadibiasa terkontrol. Saat kalah ia tidak frustasi, ketika menang pun tidak gembira berlembiha.
10.  Memperdengarkan music indah dengan ritme teratur
            Penelitian membuktikan bahwa music sangat mempengaruhi perkembangan IQ dan EI seseorang. Seseorang yang sejak kecil terbiasa mendengarkann music akan lebih berkembang kecerdasan emosi dan inteligensinya dibandingkan anak yang jarang mendengarkan music. Namun, yang dimaksud di sini adalah irama dan nada-nada yang teratur yang didapat dari perpaduan yang seimbang antara beat, ritme dan harmoni. Beat dapat mempengaruhi tubuh, ritme dapat mempengaruhi jiwa, sedangkan harmoni mempengaruhi roh. Contohnya dalam suatu konser sudah terdapat dipastikan bahwa tidak ada satu penonton pun atau pemusiknya yang tidak bergerak. Semuanya bergoyang bahkan kadang lepas control.
11.  Marah, sedih, dan cemas bukan hal tabu.
            Mencerdaskan emosi anak tak berarti pendidik harus selalu tampil “sempurna”. Sesekali berselisih dengan pasangan, merasa sedih dam kecewa, atau merasa cemas di depan anak-anak tidak menjadi soal sepanjang mereka juga melihat bagaimana cara kita menyelesaikan semua persoalan itu secara cerdas.
12.  Menyelimuti dengan iklim positif.
            Iklim yang selalu meneylimuti kita, amat sangat mempengaruhi hasil pembelajaran emosi. Iklim positif, seperti kegembiraan, harapan, kasih sayang memberikan dampak yang sungguh positif. Rasa tawa bahagia menolong kita berfikir dengan wawasan yang lebih luas dan memungkinkan kita bernegoisasi lebih bebas, juga membantu kita menjadi lebih peka pada beragam hubungan,  juga pada harapan. Harapan mempunyai peran mengagumkan mereka yang optimis dan bersemangat mampu menangani aneka persoalan. Pengembangan kecerdasan emosi perlu disesuaikan denan kemampuan pendidik,ketersediaan sarana, kondisi lingkungan dan sebagainya. Hal ini yang terpenting adalah lingkungan si sekitar anak, dimana ia berada secara pedagogis mupun psikologis di sekitar anak, di mana pun ia berada secara pedagogis maupun psikologis dapat diciptakan sesuai dengan keperluan pengembangan  kecerdasan emosi anak.

C.    Peran Pematangan Anak Usia Dini
   Faktor pematangan dan faktor belajar kedua-keduanya mempengaruhi perkembangan emosi dan sosial anak prasekolah. Namun demikian, faktor elajar penting karena belajar merupakan faktor yang lebih dapat dikendalikan. Sesungguhan faktor pematangan juga dapat sedikit dikendalikan, tetapi hanya dengan cara mempengaruhi kesehatan fisik dan memelihara keseimbangan tubuh, yaitu melalui pengendalian kelenjar yang sekresinya digerakkan oleh emosi. Sebaliknya, terdapat berbagai cara untuk mengendalikan lingkungan dalam rangka menjamin pembinaan pola emosi yang diinginka. Dalan hal ini bantuan ahli diperlukan untuk menghilangkan pola reaksi emosional yang tak diinginkan sebelum berkembang menjadi kebiasaan yang kuat. Menurut Seomantri Patmonodewo (1995), perkembangan sosial emosional belajar dari respons terhadap tingkah laku anak.
Pada hakikatnya manusia adalah mahluk sosial. Sejak dilahirkan manusia membutuhkan pergaulan dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Baik kebutuhan fisik, antara lain anggota tubuh yang normal sehingga ia sama seperti anak lainnya, maupun kebutuhan biologisnya yang melipu perasaan bagaimana ia diakui dan dihargai oleh lingkungan tempatnya bersosialisasi.
Sosialisasi tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, anak, bahkan bayi pun sudah dapat melakukannya. Bayi dapat bersosialisasi dengan ibunya, misalnya bagi memberikan jawaban senyuman ibunya dengan senyuman pula atau menangis ketika ia lapar. Tangisan ini dilakukan sebagai tanda bahwa ia mensosialisasikan kebutuhnannya. Bagaimanakah kondisi itu terjadi? Secara alamiah hal itu terjadi dan faktor penyebab utamanya lebih pada dukungan kematangan. Hal tersebut dapat dibuktikn dengan uraian berikut. Pada individu mana pun ternyata perkembangan intelektual penghasialan kemampuan untuk memahami makna yang sebelumnya tidak mengerti, memperhatikan satu rangsangan dalam jangka waktu yang lebih dan memtuskan ketegangan emosi pada satu objek. Demikian pula kemampuan mengingat dan menduga mempengaruhi reaksi emosional. Dengan demikian, anak-anak menjadi relatif terhadap rangsangan yang terjadinya tidak memperngaruhi mereka pad usia yang lebih muda.
Begitu pula pada kondidsi fisik, perkembangan kelenjar endokrin penting untuk mematangkan perilaku untuk menopang reaksi fisiologis terhadap stress. Kelenjar adrenalin yang memainkan peranan utama pada emosi mengecil secara tajam segera setelah bayi lahir. Tidak lama kemudian kelenjar itu mulai membesar lagi dan membesar dengan pesat sampai anak usia 5 tahun. Pembesarannya melambat pada usia 5 sampai 11 tahun, dan membesar lebih pesat lagi sampai anak berusia 16 tahun. Pada usia 16 tahun kelenjar terseut mencapai kembali ukuran semula, seperti pada saat anak lahir. Hanya sedikit adrenalin yang diproduksi dan dikeluarkan sampai saat kelenjar itu membesar. Kelenjar adrenalin tersebut, sangat berpengaruh pada keadaan emosional anak usia prasekolah.
D.    Analisis Pengembangan Sosial Emosional Terhadap Konsep Kecerdasan dan Peran Pematangan Belajar
            Kaitan pengembangan sosial emosional dengan konsep kecerdasan yaitu melihat dari segi sosial emosional anak di mana segala sesuatu berkaitan dengan kecerdasan jika seorang anak memiliki kecerdasan dalam bersosial maka dalam langkah selanjutnya anak akan lebih mudah dalam bertinteraksi dengan lingkungan sekitar. Kecerdasan emosi anak juga dapat mempengaruhi perilaku anak, mempengaruhi peneysuaian sosial anak yang mana sesuai dengan pandangan baron.
            Selain itu juga keterkaitan pengembangan sosial emosional dengan konsep kecerdasan dapat:
1.      Menumbuhkan kesadaran emosi diri anak, anak dapat mengetahui emosi diri sendiri, anak dapat merasakan perasaan yang sedang bergejolak dalam dirinya seperti (marah, senang, takut, dan sedih), anak dapat meneysuaikan diri dengan nilai-nilai yang diyakininya.
2.      Penilaian diri yang tepat (accurate self assessment), anak dapat mengetahui kekuatan keterbatasan dirinya, anak dapat menilai dirinya dengan tepat, anak dapat menghargai kelebihan dan kekurangan orang lain
3.      Keyakinan akan kemampuan sendiri (self confidence)
Anak dapat meyakini dirinya, anak dapat menghargai diri sendiri dan percaya dengan kelebihan dirinya, anak mempunyai keyakinan diri yang tinggi.
4.      Komunikasi (communiocation)
Anak mampu berkomunikasi dengan baik ketika menyampaikan pesan, mampu berterus terang dalam masalah yang rumit.
            Jadi, keteranpilan sosial emosional dapat menjadikan seseorang mudah bergaul, berkomunikasi dan dapat bekerja sama dengan baik.
            Selanjutnya keterkaitan pengembangan sosial emosional dengan peran pematangan dan belajar yaitu, setiap pengembangan sosial emosional harus disertai dengan pematangan dan belajar sehingg dapat menumbuhkan sosial emosional yang tinggi. Hal terseut dapat dilakukan melalui :
1. Pengalaman dan lingkungan
2. Meningkatkan peran pembelajaran





















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Perkembangan sosial anak prasekolah ditandai dengan bermulanya perkembangan persahabatan. Pada umumnya ketika anak berusia 4 tahun, mereka sudah dapat menjaga persahabatan yang dibina. Ketika berhadapan dengan temanya, anak akan menunjukan sikap yang sering kali lebih sabar, lebih mudah bekerja sama, lebih positif dan lebih sedikit menunjukan ketidak setujuan (Stroufe, Cooper dan De Hart ,1992 Dikutip Drisscoil,2005).
            Seperti halnya orang dewasa, anak usia 3-4 tahun telah mampu mengekspresikan perasaanya. Setiap saat, anak mencoba mencari perhatian kita dengan berbagai macam bentuk reaksi emosional, seperti marah,senang,ataupun sedih. Antara usia 2-3 tahun, anak mulai menggunakan sejumlah istilah untuk menunjukan emosinya (Ridgeway, Waters & Kuczaj dikutip Santrock, 2001).
            Pengembangan sosial emosional pada anak usia dini dapat dilakukan melalui bebrapa cara, diantaranya adalah mempelajari artifak, merayakan hari ulang tahun, dan buletin bantuan.
            Howard Gardner (1993) menegaskan bahwa skala kecerdasan yang selama ini dipakai, ternyata memiliki banyak keterbatasan sehingga kurang dapat meramalkan kinerja yang sukses untuk mas depan seseorang. Menurut Gardner, kecerdasan seseorang meliputi unsur-unsur kecerdasan matematika logika, kecerdasan bahasa, kecerdasan musikal, kecerdasan visual spasial, kecerdasan kinestetis, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis.
            Faktor pematangan dan faktor belajar kedua-keduanya mempengaruhi perkembangan emosi dan sosial anak prasekolah. Namun demikian, faktor elajar penting karena belajar merupakan faktor yang lebih dapat dikendalikan. Sesungguhan faktor pematangan juga dapat sedikit dikendalikan, tetapi hanya dengan cara mempengaruhi kesehatan fisik dan memelihara keseimbangan tubuh, yaitu melalui pengendalian kelenjar yang sekresinya digerakkan oleh emosi.
            Keteranpilan sosial emosional dapat menjadikan seseorang mudah bergaul, berkomunikasi dan dapat bekerja sama dengan baik.
            Selanjutnya keterkaitan pengembangan sosial emosional dengan peran pematangan dan belajar yaitu, setiap pengembangan sosial emosional harus disertai dengan pematangan dan belajar sehingg dapat menumbuhkan sosial emosional yang tinggi. Hal tersebut dapat dilakukan melalui :
1. Pengalaman dan lingkungan
2. Meningkatkan peran pembelajaran












                       

           


DAFTAR PUSTAKA

Ali Nugraha, dkk. 2013. Metode Pengembangan Sosial Emosional. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
Ary Gnanjar Agustian. 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spritual. Jakarta : Arga Wijaya Persada.
Daniel Goleman. 2002. Kecerdasan Emosional. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Prof. Dr. H. Hamzah B. Uno, M.Pd.,dkk. 2010. Mengelola Kecerdasan Dalam Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara.
Winda Gunarti, dkk. 2008. Metode Pengembangan Perilaku dan kemampuan Dasar AUD. Tangerang Selatan : Universitas Terbuka.


[1] Ali Nugraha, dkk. 2013. Metode Pengembangan Sosial Emosional. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka. Hlm. 5.18 – 5.31
[2] Winda Gunarti, dkk. 2008. Metode Pengembangan Perilaku dan kemampuan Dasar AUD. Tangerang Selatan : Universitas Terbuka. Hlm. 3.21-7.14.
[3] Prof. Dr. H. Hamzah B. Uno, M.Pd.,dkk. 2010. Mengelola Kecerdasan Dalam Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara. Hlm. 11-14
[4] Ibid. Hlm. 48-50
[5] Ary Gnanjar Agustian. 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spritual. Jakarta : Arga Wijaya Persada. Hlm.56-57
[6] Daniel Goleman. 2002. Kecerdasan Emosional. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Hlm.57-59
[7] Ali Nugraha., dkk. Opcit. Hlm. 5.19 – 5.31

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MODEL PEMBELAJARAN JARING LABA-LABA

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang             Anak usia dini adalah sosok individu yang sedang menjalani suatu proses perke...