BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Pendidikan
dilakukan manusia sepanjang hayatnya atau dikenal dengan istilah long life
education. Makna kata tersebut mengharuskan manusia untuk menjalani pendidikan
selama manusia tersebut melakukan tugasnya setiap hari. Pendidikan anak usia
dini merupakan jenjang pendidikan usia 0-6 tahun.
Usia
0-6 tahun merupakan masa peka bagi anak sehingga para ahli menyebutnya masa
golden age, karena perkembangan kecerdasannya mengalami peningkatan yang sangat
pesat dan sebagai penanaman karakter dimasa usia anak mencapai dewasa.
Pendidikan
karakter pada anak usia dini dilakukan melalui penanaman kebiasaan tentang
perilaku yang baik dalam kehidupan, sehingga anak memiliki kesadaran dan
pemahaman yang tinggi, kepedulian serta menerapkan kebaikan dalam kehidupan
sosial.
Perilaku
sosial merupakan aktivitas yang dilakukan dengan berhubungan pada orang
disekitar kita, baik itu keluarga, teman, guru dan masyarakat. Ketika anka berhubungan
dengan orang lain maka akan terjadi interaksi sosial yang dapat memacu emosi
yang diwujudkan dalam suatu tindakan.
Emosi
merupakan suatu keadaan perasaan yang bergejolak dalam diri seseorang yang
disadaridan diungkapkan melalui tindakan. Dalam pengungkapan emosi anak dalam
kehidupan sosial maka dibutuhkan adanya evaluasi atau penilaian baik buruknya
perilaku anak tersebut. Maka dari itu kami akan membahas tentang pengembangan
sosial emosional pada anak usia dini.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah berdasarkan
latar belakang diatas adalah sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dari pengembangan sosial
emosional anak usia dini ?
2. Bagaimana
konsep kecerdasan anak usia dini ?
3. Apa
pengertian peran pematangan dan belajar anak
usia dini?
4. Analisis
pengembangan sosial emosional terhadap konsep kecerdasan dan peran pematangan
belajar ?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan masalah berdasarkan rumusan masalah diatas
adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui
pengembangan sosial emosional anak usia dini
2.
Untuk mengetahui
konsep kecerdasan anak usia dini
3.
Untuk mengetahui
peran pematangan dan belajar anak usia dini
4.
Untuk mengetahui
analisis pengembangan sosial emosional terhadap konsep kecerdasan dan peran
pematangan belajar
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
PENGEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK
Pengembangan Sosial
Perkembangan sosial anak prasekolah
ditandai dengan bermulanya perkembangan persahabatan. Pada umumnya ketika anak
berusia 4 tahun, mereka sudah dapat menjaga persahabatan yang dibina. Ketika
berhadapan dengan temanya, anak akan menunjukan sikap yang sering kali lebih sabar,
lebih mudah bekerja sama, lebih positif dan lebih sedikit menunjukan ketidak
setujuan (Stroufe, Cooper dan De Hart ,1992 Dikutip Drisscoil,2005), Kemampuan
anak untuk
memulai dan menjaga persahabatan mereka ini mengisyaratkan kepada kita bahwa
anak memiliki preferensi sosia atau dengan kata lain anak sudah memulai
kecenderungan untuk memilih teman bermainya.
Selain memiliki prefensi sosial,
anak usia 3-4 tahun juga mulai mengembangkan kompetensi sosial. Kompetensi atau
kecakapan sosial dapat di artikan sebagai kemampuan anak untuk turut serta
dalam kelompok teman sebaya, menyukai dan memiliki ke inginan untuk di trima
sebagai bagian dari suatu kelompok bermain, serta kemampuan untuk berinteraksi
dengan teman sebaya mielaui cara saling menguntungkan dan memuaskan.
Prefensi sosial dan keacakapan
sosial yang dimiliki oleh anak sejalan dengan tahapan perkembangan
psikososialnya. Seoraang
tokoh psikologi perkembangan, erikson (1902-1994) yang menyumbangkan pikiraanya
mengenai 8 tahapan perkembangan psikososial mengemukakan baahwaa anak usiia pra
sekolah (3-5 taahun) berada dalam tahap ke tiga, yaitu tahap prakarsa atau inisiatif dan rasa bersalah
(initiative versus guilt ). Ketika memasuki usia prasekolah anak akan memaasuki
suatu dunia sosial yang lebih luas di bandingkan usia sebelumnya. Anak biasanya
sudah mulai memasuki lembaga pendidikan yang memungkinkan mereka berinteraksi
dengan orang-orang di luar struktur keluarga, seperti ibu guru dan teman
sebaaya. Seiring dengan perkembangan motoriknya yang lebih matang, anak akan
lebih bebas bergerak dan bersemangat untuk mencoba berbagai cara damka memaknai
kondisi dan lingkunganya. Anak akan mienerima sejumlah taanggung jawab yang
lebih menantang, seperti tanggung jawab terhadap prilaku yang diperbuat atau mainan
yang dimiliki. Pengembangan taanggung jawab ini akan menimbulkan prakarsa atau
inisiatif dalam diri anak. Inisiatif tersebut di pergunakan oleh anak untuk
mencapai berbagai macam tujuan yang di inginkanya. Tidak semua tujuan yang
diinginkan oleh anak akan tercapai seluruhnya. Adanya sejumlah hambatan dan
atau penundaan tersebut akan mengakibatkan anak menjadi rasa bersalah. Selain
itu, perasaan bersalah dapat juga muncul jika anak tidak di beriakan
kepercayaan dan dibuat merasa sangat cemas dalam mencapai tujuanya. Konflik
yang terjadi antara inisiatif dan perasaan dalam diri anak tersebut menjadi
ciri dominan dalam perkembangan psikososial anak prasekolah. Bila inisiatif
berkembang tanpa dibatasi dengan perasaan bersalah maka akan berdanpak pada kurangnya
prilaku bermoral pada diri anak. Sebaliknya, apabila perasaan bersalah yang
dominan maka anak menjadi terlalu di kekang. Namaun demikian, Erikson menyakini
secara positif bahwa perasaan bersalah dalam diri anak akan dengan cepat
tergantikan oleh perasaan berhasil. Secara lebih terinci. Dodge, Colker, dkk.
(2002) menjabarkan rangkaian perkembangan sosial (social developmental continuum ) yang utuh pada anak usia 3-5 tahun
pada table berikut.
Tujuan Perkembangan
|
Rangkaian Perkembangan (3-5
tahun)
|
|||
1
|
2
|
3
|
4
|
|
Menunjukkan
inisiatif sendiri dan kebebasan
|
Menyatakan
tujuan kebutuhannya dan keinginanya (dapat dalam bentuk non verbal)
|
Memilih
dan menjadi lebih dalam suatu aktivitas berdasarkan beberapa pilihan yang
diajukan
|
Menyelesaikan tugas yang lebih
rumit dalam suatu proyek pilihan sendiri dengan bantuan orang dewasa
|
Menyelesaikan dan mengajarkan
tugas pilihannya sendiri tanpa bantuan orang dewasa
|
Menerima
tanggung jawab pribadi dengan baik
|
Mengizinkan
orang dewasa untuk merawat kebutuhan pribadinya, seperti memakai baju atau
mencuci tangan tanpa perlawanan.
Menggunakan
kemampuan menolong diri sendiri dengan orang dewasa, seperti minyikat gigi,
menggantungkan
jaket
dengan bantuan.
|
Menggunakan
kemampuan menolong diri sendiri dengan sekali-kali dinginkan.
|
Menggunakan kemampuan menolong
diri sendiri dan partisipasi dalam pekerjaan tanpa perlu diingatkan.
|
Mengerti pentingnya kemampuan
menolong diri sendiri dan peran dirinya dalam kehidupan yang sehat.
|
Menghormati
dan merawat lingkungan dan peralatan di dalam kelas.
|
Menggunakan
dan mengeskplorasi peralatan dalam jangka waktu yang singkat dengan bantuan
orang dewasa atau mandiri
Berpartipasi
dalam merapikan peralatan yang rutin digunakan ketika diminta.
|
Menggunakan
permainan dengan cara yang layak.
|
Memindahkan benda yang tidak
diperlukan sebelum memulai aktivitas selanjutnya
|
Mulai menunjukkan tanggung
jawab merawat lingkungan kelas.
|
Mengikuti
aktivitas rutin dalam kelas.
|
Bersedia
mengikuti perpindahan alur kegiatan
Mengikuti
aktivitas dalam kelas dengan bantuan, seperti perlu digunakan, petunjuk
menggunakan gambar, atau bantuan fisik.
|
Berpartisipasi
dalam kegiatan di dalam kelas (seperti membereskan peralatan, toilet
training)
|
mengerti
dan mengikuti tata cara di dalam kelas tanpa paksaan.
|
Mengikuti
dan mengerti tujuan tata cara di dalam kelas.
|
mematuhi peraturan di dalam
kelas
|
Mengikuti arahan sederhana dan
batas waktu yang diberitahukan oleh orang dewasa.
|
Mengikuti aturan dalam kelas
dengan diingatkan
|
Mengerti dan mengikuti
peraturan di dalam kelas tanpa perlu diingatkan
|
Mengikuti dan mengerti alasan
peraturan di dalam kelas
|
Pengembangan
Emosional
Seperti
halnya orang dewasa, anak usia 3-4 tahun telah mampu mengekspresikan
perasaanya. Setiap saat, anak mencoba mencari perhatian kita dengan berbagai macam
bentuk reaksi emosional, seperti marah,senang,ataupun sedih. Antara usia 2-3
tahun, anak mulai menggunakan sejumlah istilah untuk menunjukan emosinya
(Ridgeway, Waters & Kuczaj dikutip Santrock, 2001).Bahkan pada usia 3-4
tahun,anak tidak hanya sekedar mempunyai kosakata yang cukup dalam menunjukan
emosinya, akan tetapi mereka sudah mulai memplajari tentang penyebab dan
konsekuensi dari perasaan tersebut. Hurlock mendeskripsikan anak-anak pada masa
kanak-kanak awal (3-5 tahun ) cendrung
menunjukan emosi, seperti marah, takut,cemburu, ingin tahu, iri hati, gembira,
sedih dan kasih saying dengan latar belakang sebagai berikut.
a. Marah
Perilaku
marah yang muncul pada anak cendrung disebabkan oleh perselisihan tentang
permainan dengan teman dan tidak tercapainya
keinginan serta serengan hebat dari orang lain. Pengungkapan kemarahan
disalurkan melalui tangisan,teriakan, dan gertakan atau dengan kegiatan fisik,
seperti melompat-lompat menendang,dan memukul.
b. Cemburu
Adik yang baru lahir ketika anak masi berusia
3-4 tahun sering kali menjadi sumber kecemburuan. Anak menyangka bahwa
perhatian orang lain beralih karna kehadiran adik baru itu. Anak berasa orang
tua tidak lagi memperhatikan, mengacuhkan dan peduli dengan keadaan dirinya.
Bentuk ungkapan cemburu yang dilakukan anak pada umumnya untuk menarik
perhatian orang agar kembali menyukainya. Salah satu tanda bahwa anak cemburu
adalah menunjukan berperilaku kembali seperti anak kecil, seperti pura-pura
sakit,dan mengompol,dan menjadi lebih sulit diatur.
c. Iri
hati
Penyebab
iri hati anak pada umumnya adalah keinginan untuk memiliki benda yang sama yang
dimiliki oleh orang lain. Ungkap iri hati dimunculkan dalam berbagai macam
cara, seperti mengeluh tentang barang yang dimilikinya, menyatakan
keinginanuntuk mempunyai benda, seperti yang dimiliki oleh anak lain atau
dengan mengambil benda yang menimbulkan rasa iri hati.
d. Sedih
Bisanya
rasa sedih terjadi karna anak kehilangan sesuatu yang dicintai, disayangi atau
di anggap penting, baik merupakan orang yang dicintainya maupun benda mati atau
hewan peliharanya. Untuk kesedihan di ungkapkan melalui tangisan dan hilangnya
minat terhadap kegiatan tang menjadi rutinitasnya
e. Takut
Ekspresi
khas dari rasa takut anak di ungkapkan melaui rasa panic yang dapt pula diikuti
dengan kegiatan, seperti berlari, bersembunyi, menangis, dan menghindar dari
situasi yang menakutkan. Situasi yang menakutakan,antara lain disabkan oleh
ingatan yang kurang menyenagkan dan memicu rasa takut, seperti cerita, gambar,
film yang menimbulkan persaan yang menyeramkan(horror).
f. Ingin
tahu
Maw
and maw yang di kutip Hurlock menjelaskan bahwa anak menunjukan rasa ingin tahu
dengan cara (1) bereaksi secara positip terhadap unsure-unsur yang baru, aneh,
tidak layak atau misterius dalam lingkunganya dengan bergerak kearah benda
tersebut,mengeceknya atau memainkanya ; (2) memperlihatkan kebutuhan atau ke
inginan untuk lebih banyak mengetahui tentang dirinya sendiri atau lingkungan;
(3) mengamati lingkungan untuk mencari pengalaman baru : (4) menekuni, memeriksa
atau menyelidiki rangsangan dengan maksud untuk lebih banyak mengetahu seluk
beluk unsure-unsur tersebut.
g. Kasih
sayang
Reaksi emosional
terhadap seseorang benda atau hewan yang dicintai oleh anak dapat ditunjukan
dengan perhatian yang hangat baik di ucapkan secara lisan atau dalam bentuk
fisik, seperti memiliki sesuatu yang di cintai.
h. Gembira
Eksperesi
gembira di tampakan oleh anak karna beberapa alasan, seperti bunyi yang
ttiba-tiba atau ktidak di harapkan, membohongi orang lain dan berhasil melaksanakan
sesuatu tugas yang di anggap sulit. Kegembiraan di tenjukan dengan bertepuk
tangan,tertawa, lompat-lompat dan memelul benda atau orang yang membuat rasa
bahagia.
Pengembangan Sosial Emosional Anak
Hingga
saat ini masih banyak orang tua dan masyarakat yang meyakini bahwa IQ merupakan
satu-satunya hal yang menentukan keberhasilan masa anak. Mereka akan bangga
apabila anaknya mempunyai tingkat kecerdasan inteligensi di atas 120. Rasanya
seluruh dunia sudah berada di genggaman. Padahal, jika dipahami lebih lanjut,
tes IQ umumnya hanya menggali kemampuan dasar logika bahasa dan matematika.
Setelah menjalani berbagai macam pengujian maka seseorang akan dinilai tingkat
kecerdasannya apakah sangat cerdas, cerdas, rata-rata atau kurang cerdas?. Dari
anggapan di atas akan diramalkan keberhasilan bidang akademik atau kariernya
kelak.
Masih
banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa ada faktor dominan lain disamping
IQ, yaitu EI. Baru-baru ini telah berkembang pandangan lain yang menyatakan
bahwa faktor yang mempengaruhi keberhasilan (kesuksesan) individu dalam
hidupnya yang paling dominan bukan semata-mata ditentukanoleh tingginya
kecerdasan intelektual. Akan tetapi ditentukan oleh faktor, kematangan emosi
yang oleh ahlinya disebut Emotional Quatient atau kecerdasan emosi (Daniel
Goleman, 2001) hal tersebut berdasarkan
pengamatannya bahwa banyak orang yang cerdas ternyata mengalami kegagalan di
bidang akademis,dalam karier, juga dalam kehidupannya. Itu semua disebabkan
mereka kurang memiliki kecerdasan emosi. Tidka sedikit orang sukses dalam
hidupnya karena mereka memiliki kecerdasan emosi meskipun intekigensinya hanya
pada tingkat rata-rata.
Dengan
demikian, betapa pentingnya seseorang memiliki kecerdasan emosi sehingga ia
dapat hidup dengan tentram dalam lingkungan sosialnya. Pengembangan kecerdasan
emosisemakin eprlu dipahami, dimiliki, diperhatikan mengingat kondisi kehidupan
pada saat ini semakin kompleks dan memberikan dampak yang sangat buruk terhadap
perkembangan kehidupan emosi dan sosial anak. Hasil survey terhadap para
pendidik menunjukkan ada kecendrungan yangs ama di seluruh dunia, yaitu
generasi sekarang lebih banyak memiliki kesulitan emosi daripada generasi
sebelumnya. Generasi sekarang lebih kesepian dan pemurung lebih beringasan,
kurang memiliki sopan santun, mudah cemas, gugup, serta lebih implusif (Djawad
Dahlan, 2000)
Implikasi
dari pernyataan itu adalah anak perlu dibekali keterampilan emosi dan sosial,
ayitusuatu kemampuan untuk mengenali, mengilah, dan mengontrol emosi sehingga
dapat merespon dengan baik setiap kodnisi yang merafsang munculnya emosi-emosi
tersebut. Dengan demikian, individu yang mempunyai kecerdasan emosi akan lebih
mampu untuk mengatasi berbagai masalah yang timbul selama proses
perkembangannya,kemudian dengan memiliki keterampilan emosi dan sosialnya, ia
akan lebih mampu mengatasi berbagai tantangan emosi di kehidupan modern saat ini.[1]
Pengembangan
sosial emosional pada anak usia dini dapat dilakukan melalui bebrapa cara,
diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Mempelajari
artifak
Untuk mendapatkan konsep dalam
pengembangan sosial, anak dapat diberikan tugas untuk mempelajari artifak atau
benda-benda bersejarah yang memiliki nilai kebudayaan tinggi dalam kehidupan
manusia.artifak tersebut dapat berupa alat permainan, pakaian, sepatu,
alat-alat memasak yang dapat di gunakan oleh anak untuk membandingkan apa yang
mereka tahu tentang benda-benda tersebut yang di gunakan oleh komunitas lainya
dibelahan dunia yang lain. Hal ini berarti pula bahwa artifak tidak selalu berupa
peninggalan benda bersejarah yang telah
berusia ratusan tahun.pendidik dapat menggunakan sovenir dari mancan
negara untuk memperkenalkan kepada anak tentang budaya yang ada di dunia. Tugas
yang dapat di berikan pada anak adalah meminta mereka untuk menggali pemahaman
mereka tentang artifak tersebut.
b. Merayakan
hari ulang tahun
Merayakan ulang tahun sebenarnya bukan
merupakan ritual yang harus di laksanakan. Akan tetapi, pendidik dapat
menciptakan suasana khusus untuk hari kelahiran untuk anak-anak. Pendidik tidak
perlu meminta orang tua untuk menyiapkan beragam pernak pernik ulang tahun,
tetapi pendidik dan anak-anak yang akan menyelenggarakanya.pendididk dapat
memberikan tugas kepada anak yang tidak berulang tahun untuk menyiapkan pesta sedarhana
bagi anak yang berulang tahun, seperti membuat mahkota, menghias hadiah
sedarhana, mendekorasi bangku khusus untuk anak yang berulang tahun.
c. Buletin
bantuan
Bulletin bantuan merupakan papan
bulletin yang di desain untuk menunjukan tindakan saling tolong menolong yang
telah di lakukan oleh seorang anak terhadap temannya pada hari-hari tertentu.
Pendidik dapat member tugas kepada anak (dan dengan kesepakatan bersama) untuk
menyiapkan dirinya dalam membantu teman-teman. Pendidik dapat membuat papan bulletin
dan menempelkan foto anak dan benda-benda konkret sebagai symbol bantuan yang
akan diberikan oleh anak kepada teman-temanya, seperti membersihkan meja makan
atau melipat serbet makan.[2]
B.
KONSEP KECERDASAN
Howard
Gardner (1993) menegaskan bahwa skala kecerdasan yang selama ini dipakai,
ternyata memiliki banyak keterbatasan sehingga kurang dapat meramalkan kinerja
yang sukses untuk mas depan seseorang. Menurut Gardner, kecerdasan seseorang
meliputi unsur-unsur kecerdasan matematika logika, kecerdasan bahasa,
kecerdasan musikal, kecerdasan visual spasial, kecerdasan kinestetis,
kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis.
Secara rinci masing-masing kecerdasan tersebut dijelaskan sebagai berikut.
1. Kecerdasan
Logis Matematis
Kecerdasan
logis matematis memuat kemampuan seseorang dalam berpikir secara induktif dan
deduktif, berfikir menurut aturan logika, memahami dan menganalisis pola
angka-angka, serta memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan berfikir.
Peserta didik dengan kecerdasan logis matematis tinggi cenderung menyenangi
kegiatan menganalisis dan mempelajari sebab akibat terjadinya sesuatu. Ia
menyenangi berpikir secara konseptual, misalnya menyusun hipotesis dan
mengadakan kategorisasi dan klasifikasi terhadap apa yanh dihadapinya. Peserta
didik semacam ini cenderung menyukai aktivitas berhitung dan memiliki kecepatan
tinggi dalam menyelesaikan problem matematika. Apabila kurang memahami, mereka
akan cenderung berusaha untuk bertanya dan mencari jawaban atas hal yang kuranh
dipahaminya. Peserta didik ini juga sangat menyukai berbagai permainan yang
banyak melibatkan kegiatan berfikir aktif, seperti catur dan bermain teka-teki.
2. Kecerdasan
Bahasa
Kecerdasaan
bahasa memuat kemamouan seseorang untuk menggunakan bahasa dan kata-kata, baik
secara tertulis maupun lisan, dalam berbagai bentuk yang berbeda untuk
mengekspresikan gagasan-gagasannya. Peserta didik dengan kecerdasan bahasa yang
tinggi umumnya ditandai dengan kesenangannya pada kegiatan yang berkaitan
dengan penggunaan suatu bahasa sepetti membaca, menulis karangan, membuat
puisi, menyusun kata-kata mutiara, dan sebagainya. Peserta didik seperti ini
juga cenderung memiliki daya ingat yang kuat, misalnya terhadap nama-nama
orang, istilah-istilah baru, maupun hal-hal yang sifatnya detail. Mereka
cenderung lebih mudah belajar dengan cara mendengarkan dan verbalisasi. Dalam
hal penguasaan suatu bahasa baru, peserta didik ini umumnya memiliki kemampuan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan peserta didik lainnya.
3. Kecerdasan
Musikal
Kecerdasan
musikal memuat kemampuan seseorang untuk peka terhadap suara-suara nonverbal
yang berada disekelilingnya, termasuk dalam hal ini adalah nada dan irama.
Peserta didik jenis ini cenderung senang sekali mendengarkan nada dan irama
yang indah, entah melalui senandung yang dilagukannya sendiri, mendengarkan taperecorder, radio, pertunjukkan
orkestra, atau alat musik yanh dimainkannya sendiri. Mereka juga lebih mudah
mengingat sesuatu dan mengekspresikan gagasan-gagasan apabila dikaitkan dengan
musik.
4. Kecerdasan
Visual-Spasial
Kecerdasan
visual-spasial memuat kemampuan seseorang untuk memahami secara lebih mendalam
hubungan antara objek dan ruang. Peserta didik ini memiliki kemampuan, misalnya
untuk menciptakan imajinasi bentuk dalam pikirannya atau kemampuan untuk
menciptakan bentuk-bentuk tiga dimensi seperti dijumpai pada orang dewasa yang
menjadi pemahat patung atau arsitek suatu bangunan. Kemampuan membayangkan
suatu bentuk nyata dan kemudian memecahkan berbagai masalah sehubungan dengan
kemampuan ini adalah hal yang menonjol pada jenis kecerdasan visual-spasial.
Pesertad didik yang demikian akan unggul, misalnya dalam permainan mencari
jejak pada suatu kegiatan di kepramukaan.
5. Kecerdasan
kinestetis
Kecerdasan
kinestetis memuat kemampuan seseorang untuk secara aktif menggunakan
bagian-bagian atau seluruh tubuhnya untuk berkomunikasi dan memecahkan berbagai
masalah. Hal ini dapat dijumpai pada peserta didik yang unggul pada salah satu
cabang olahraga, seperti bulu tangkis, sepakbola, tenis, renang, dan
sebagainya, atau bisa pula tampil pada peserta didik yang pandai menari,
terampil bermain akrobat, atau unggul dalam bermain sulap.
6. Kecerdasan
Interpersonal
Kecerdasan
interpersonal menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan
orang lain. Mereka cenderung untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain
sehingga mudah bersosialisasi dengan lingkungan di sekelilingnya. Kecerdasan
semacam ini juga sering disebut sebagai kecerdasan
sosial, yang selain kemampuan menjalin persahabatan yang akrab dengan
teman, juga mencakup kemampuan seperti memimpin, mengorganisasi, menangani
perselisihan antar teman, memperoleh simpati dari peserta didik yang lain, dan
sebagainya.
7. Kecerdasan
Intrapersonal
Kecerdasan
intrapersonal menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan
dirinya sendiri. Ia cenderung mampu untuk mengenali berbagai kekuatan maupun
kelemahan yang ada pada dirinya sendiri. Peserta didil semacam ini senang
melakukan intropeksi diri, mengoreksi kekurangan maupun kelemahannya, kemudian
mencoba untuk memperbaiki diri. Beberapa di antaranya cenderung menyukai
kesunyian dan kesendirian, merenung, dan berdialog dengan dirinya sendiri.
8. Kecerdasan
Naturalis
Kecerdasan
naturalis adalah kemampuan seseorang untuk peka terhadap lingkungan sendiri,
misalnya senang berada di lingkungan alam yang terbuka, seperti pantai, gunung,
cagar alam, atau hutan. Peserta didik dengan kecerdasan seperti ini cenderung
suka mengobservasi lingkungan alam seperti aneka macam bebatuan, jenis-jenis
lapisan tanah, aneka macam flora dan fauna, benda-benda angkasa, dan
sebagainya.[3]
Anak
berbakat oleh sebagian orang sulit ditentukan, sebab keterbakatan anak biasanya
tumbuh selain faktor hereditas atau bawaan, juga sebagai akibat bentukan
lingkungan dimana anak berada. Bahkan, jika melihat perjalanan hidup
orang-orang ternama yang telah banyak menyumbangkan karyanya bagi kepentingan
masyarakat dunia, ternyata keberbakatan mereka sejak kecil kurang nampak.
Sebagai contoh perjalanan hidup Thomas Alva Edison yang pada waktu berumur enam
tahun ditolak gurunya dari sekolah karena mereka mengganggapnya sebagai
abnormal dan sakit jiwa.
Karena
kehidupan Thomas Alva Edison yang tidak pernah damai di sekolah, ibunya
mengeluarkan dari sekolah dan di didiknya di rumah. Ternyata di kemudian hari
Thomas Alva Edison menemukan listrik, lampu, fonograf, dan mikrofon.
Pemahaman Tentang Keberbakatan dan Kemampuan Anak
Berbakat
1. Individu,
lingkungan, dan intervensi
A) Individu
Perkembangan diri (
Development of selfhood) individu merupakan fase aktif, karena mencakup semua
pengalaman dalam interaksi dengan lingkungan yang menjadikan manusia sadar
tentang eksistensinya sebagai seorang individu yang berbeda dari individu lain.
Pada
saat bayi berumur tiga bulan, sudah kelihatan betapa baik atau kurang baik
lingkungan memengaruhi perkembangan intelektual seseorang bayi. Para peneliti
telah mengamati bahwa berbagai tes pada saat ini sampai batas tertentu, sudah
dapat meramalkan perkembangan bahasa di masa yang akan datang dan kualitas interaksi
dengan lingkungan serta ciri-ciri kepribadian yang ikut menentukan pola belajar
di masa datang. Ada sementara peneliti yang menganggap masa ini sangat
merugikan bayi, karena individu itu masih sangat bergantung pada pengaruh
lingkungan dalam hal stimulasi intelektual. Bukan hanya jumlah stimulasi yang
memengaruhi perkembangan individu, tetapi justru kualitas interaksinya.
Interaksi yang bermakna khusus adalah penting, karena perilaku dan respons bayi
secara langsung merupakan sebab dari hasil interaksi itu.
Dalam hal ini,
stimulasi intelektual sangat dipengaruhi oleh keterlibatan emosional, bahkan
emosi juga amat menentukan perkembangan intelektual selanjutnya. Secara timbal
balik faktor-faktor kognitif juga terlibat dalam perkembangan emosional, bahkan
emosi juga amat menentukan perkembangan intelektual selanjutnya.
Einstein(1978,dalam
Clark, 1986) menambahkan, peran pengalaman intelektual adalah menyeleksi antara
jaringan yang ditimbulkan oleh aparatus genetis ketika terjadi perkembangan
otak. Apabila spektrum lengkap dari pengalaman itu tidak diperoleh oleh
organisme, kemungkinan fungsi-fungsi itu tidak bekerja dengan baik akan
terjadi. Periode sensitif perkembangan otak manusia berada pada interval umur
3-10 bulan, 2-4 tahun, 6-8 tahun, 10-12/13 tahun, dan 14-17 tahun (Clark,1986).
B) Lingkungan
Permasalahan individu
terjadi karena munculnya secara progresif struktur yang merupakan hasil
interaksi antara organisme dan lingkungan. Dalam mendeskripsikan peranan
masing-masing faktor genetik dan lingkungan atau keturunan dan lingkungan,
sering hal itu dideskripsikan sebagai “keturunan versus lingkungan”. Namun,
menyajikan lingkungan yang baik sebenarnya adalah mengindahkan sifat-sifat
alamiah si individu, sebab bagaimanapun perkembangan individu banyak ditentukan
oleh benih dari mana ia berasal. Potensi yang dibawa sejak lahir dengan
keterbatasannya harus menjadi perhatian dalam peran yang dimainkan dalam
interaksi dengan lingkungan.
Lingkungan adalah
segala sesuatu yang bersifat eksternal terhadap diri individu, karena
lingkungan merupakan sumber informasi yang diperoleh melalui pancaindra. Semua
informasi diteruskan ke otak melalui saluran-saluran neuro-fisiologis, semula
sebagai implus elektro kimiawi yang menjadi isyarat tertentu, kemudian dimodifikasi
dalam bentuk bahasa tertentu. Namun, tidak semua informasi diterima oleh otak.
Suatu mekanisme yang disebut perangkat mental merupakan sistem penyaring yang
menerima atau menolak informasi yang diperoleh melalui pengindraan sebelum
mencapai otak. Mekanisme itu secara langsung atau tak langsung juga merupakan
mekanisme mempertahankan diri untuk menyerap informasi dengan reaksi yang
dihasilkan oleh pengalaman masa lalu.
C) Intervensi
Istilah intervensi
menunjuk pada dimensi informasi yanh diatur melalui pembelajaran tertentu,
pertumbuhan, dan perubahan perilaku (Khatena,1992). Namun, intervensi juga
menunjuk pada ciri-ciri lingkungan yang paling berpengaruh dalam membentuk
individu dan merupakan hasil dari respons individual terhadap lingkungan sosial.
Dalam suatu lingkungan yang menghasilkan stimulasi dan nutrisi yang cukup,
faktor genetis akan memperlihatkan pertumbuhan fisik yang mungkin lebih baik
daripada generasi sebelumnya.[4]
Banyak
contoh di sekitar kita membuktikan bahwa orang yang memilki kecerdasan saja
atau banyak memilki gelar yang tinggi belum tentu sukses berkiprah di dunia
pekerjaan. Bahkan seringkali yang berpendidikan formal lebih rendah ternyata
banyak yang lebih berhasil. Kebanyakan program pendidikan hanya berpusat pada
kecerdasan akal (IQ), padahal yang diperlukan sebenarnya adalah bagaimana
mengembangkan kecerdasan hati, seperti ketangguhan, inisiatif, optimisme,
kemampuan beradaptasi yang kini telah menjadi dasar penilaian baru. Saat ini
begitu banyak orang berpendidikan dan tampak begitu menjanjikan, namun
karirrnya mandek. Atau lebih buruk lagi tersingkir akibat rendahnya kecerdasan
hati mereka.
Saya ingin menyampaikan sesuatu hal
yang terjadi di Amerika Serikat tentang kecerdasan emosi. Menurut survey
nasional terhadap apa yang diinginkan oleh pemberi kerja, bahwa keterampilan
teknik tidak seberapa penting dibandingkan kemampuan dasar untuk belajar dalam
pekerjaan yang bersangkutan. Diantaranya adalah kemampuan mendengarkan dan
berkomunikasi lisan, adaptasi, kreatifitas, ketahanan mental terhadap
kegagalan, kepercayaan diri, motivasi, kerjasama tim dan keinginan untuk
memberi kontribusi terhadap perusahaan. Saya tambahkan lagi pendapat seorang
praktisi kaliber internasional, Linda
Keegan, salah seorang Vice President untuk pengembangan eksekutif Citibank
di salah satu negara Eropa mengatakan bahwa kecerdasan emosi atau EQ harus
menjadi dsar dalam setiap pelatihan manajemen.
Dari hasil tes IQ, kebanyakan orang
yang memiliki IQ tinggi menunjukkan kinerja buruk dalam pekerjaan, sedangkan
yang ber-IQ sedang, justru sangat berprestasi. Kemampuan akademik, nilai
raport, predikat kelulusan pendidikan tinggi tidak bisa menjadi tolak ukur
seberapa baik kinerja seseorang sesudah bekerja atau “Testing For Comptence”
bahwa “seperangkat kecakapan khusus seperti empati, disiplin diri, dan
inisiatif akan menghasilkan orang-orang yang sukses dan bintang-bintang
kinerja”.
Saat ini, perusahaan-perusahaan
raksasa dunia sudah menyadari akan hal ini. Mereka menyimpulkan bahwa inti
kemampuan pribadi dan sosial yang merupakan kunci utama keberhasilan sesorang
adalah kecerdasdan emosi. Sekarang yang menjadi masalah, apakah anda jujur
kepada diri anda sendiri? Seberapa cermat anda merasakan perasaan pada diri
anda? Seseringkah anda tidak memperdulikannya? Menurut hadits yang diriwayatkan
oleh H.R. Muslim, Nabi Muhammad menyatakan :
“Dosa
Membuat Hati Menjadi Gelisah”.
Inilah kunci dari kecerdasan emosi
anda, kejujuran pada suara hati. Suar hati inilah yang sebenarnya dicari oleh Stephen Covey di dalam bukunya “The
Seven Habits of Highey Effective People” atau yang lebih dikenal dengan “The
Seven Habits”. Ini yang seharusnya dijadikan sebagai pusat prinsip yang akan
memberikan rasa aman, pedoman, daya, dan kebijaksanaan. Menurutnya: “Disinilah
anda berurusan dengan visi dan nilai anda. Disinilah anda menggunakan anugerah
anda, - kesadaran diri (self awareness) – untuk memeriksa peta anda, dan
apabila anda menghargai prinsip-prinsip yang benar bahwa paradigma anda adalah
berdasarkan pada prinsip dan kenyataan, disinilah anugerah anda – suara hati –
sebagai kompas”.[5]
Salovery menempatkan kecerdasan
pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang
dicetuskannya, seraya memperluas kemampuan ini menjadi lima wilayah utama :
1.
Mengenali
emosi diri. Kesadaran diri- mengenali perasaan
sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Kemampuan
untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal yang penting bagi
wawasan pemahaman diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan kita yang
sesungguhnya membuat kita berada dalam kekuasaan perasaan. Orang yang memiliki
keyakinan yang lebih tentang perasaannya adalah pilot yang andal bagi kehidupan
mereka, karena mempunyai kepekaan lebih tinggi akan perasaan mereka yang
sesungguhnya atas pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi, mulai dari
masalah siapa yang akan dinikahi sampai ke pekerjaan apa yang akan diambil.
2.
Mengelola
emosi. Menangani perasaan agar perasaan dapat
terungkap dengan pas adalah kecakapan yang bergantung akan kesadaran diri.
Orang-orang yang buruk kemampuan nya dalam keterampilan ini akan terus menerus
bertarung melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar dapat bangkit
kembali dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan dan kejauhan dalam kehidupan.
3.
Memotivasi
diri sendiri. Menata emosi sebagai alat untuk
mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi
perhatian, untk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri dan untuk
berkreasi. Kendali diri emosional – menahan
diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati adalah landasan
keberhasilan dalam berbagai bidang. Dan mampu menyesuaikan diri dalam “flow”
memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala bidang. Orang-orang
yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam
hal apapun yang mereka kerjakan.
4.
Mengenali
emosi orang lain. Empati, kemampuan yang
juga bergantung pada kesadaran diri emosional merupakan “keterampilan bergaul
dasar”. Orangyang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang
tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki
oranglain. Orang-orang seperti ini cocok untuk pekerjaan-pekerjaan keperawatan,
mengajar, penjualan, dan manajemen.
5.
Membina
hubungan. Seni membina hubungan, sebagian besar
merupakan keterampilan dan ketidakterampilan sosial dan
keterampilan-keterampilan terntentu yang berkaitan. Ini merupakan keterampilan
yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antar pribadi.
Orang-orang yang hebat dalam keterampilan ini akan sukses dalam bidang apapun
yang mengandalkan pergaulan yang mulus dengan oranglain, mereka adalah
bintang-bintang pergaulan.
Tentu saja kemampuan orang
berbeda-beda dalam wilayah-wilayah ini. Beberapa orang diantara kita barangkali
amat terampil menangani kecemasan diri sendiri misalnya, tetapi agak kerepotan
merendam kemarahan orang lain. Landasan di balik tinkgat kemampuan ini tentu
saja adalah saraf, tetapi sebagaimana akan kita lihat, otak bersifat
plastis-sangat mudah dibentuk dan terus menerus belajar. Kekurangan-kekurangan
dalam keterampilan emosional dapat diperbaiki sampai ke tingkat yang
setinggi-tingginya dimana masing-masing wilayah menampilkan bentuk kebiasaan
dan respons yang dengan upaya yang tepat dan dapat dikembangkan.[6]
Batasan kecerdasan sosial emosional pada anak
Menyelami
batasan dan konsep kecerdasan sosial emosional membutuhkan ketajaman khusus
karena lingkup kajiannya cukup kompleks, dinamis dan cenderung dipengaruhi oleh
unsur sosial-budaya, cara pandang dan metode kerja para ahli dalam bidang
tersebut. Terutama jika pengungkapan batasan tersebut mengarah kepada
identifikasi unsur-unsur yang melingkupinya. Walaupun pada akhirnya yang akan
dinyatakan secara tegas sebagai konsep dalam tulisan ini adalah kata/symbol
kecerdasan emosi, tetapi berdasarkan penelusuran penulis atas berbagai sumber
yang beragan, kecerdasan emosi tidak berdiri sendiri dan tidak dapat dipisahkan
dengan kecerdasan sosial. Kedua konsep tersebut bersifat kohesif (menyatu) dan
tidak dapat dipisahkan secara tegas satu epr satu. Karena suatu kecerdasan
emosi akan dipengaruhi oleh individu jika kecerdasan itu terefleksi dan
teraktualisasi dalam kehidupan sosialnya. Dengan dmeikian, perilaku sosial
merupakan ukuran nyata kecerdasan emosi, dan sebaliknya kecerdasan emosi akan
terungkap secara factual jika digali melalui perilaku sosial dan kehidupan
anak. Atas kelekatan yang begitu kuat antara dimensi kecerdasan emosi dan
kecerdasa sosial maka pada identifikasi rincian perkembangan maupun
unsur-unsurnya kadang-kadang dalam berbagai dokumen sering ditemukan dengan
uraian yang menyatu menggunakan judul perkembangan sosial emosional. Uraian
tersebut akan semakin banyak ditemukan dalam tulisan-tulisan berbentuk manual,
pedoman pengembangan, termasuk dalam dokumen kurikulum.untuk uraian selanjutnya
karena sudah cukup popular dengan kecerdasan emosi maka istilah tersebutlah
yang akan digunakan, meskipun tetap harus dibaca termasuk didalam unsur-unsur
yang terkait dengan bidang sosial.
Lalu
apakah sesungguhnya yang
dimaksud dengan kecerdasan emosi itu? Istilah kecerdasan emosi pada mulanya
dikemukakan oleh ahli psikolog yaitu Peter Salover dari Universitas Harvard dan
John Mayer dari Universitas of New Hampshire. Mereka mengatakan bhawa
kecerdasan emosi memiliki kualitas-kualitas emosi yang penting bagi suatu
keberhasilan. Selanjutnya dalam menjelaskan pandangannya itu, kedua ahli
tersebut menunjukkan kualitas-kualitas apa yang dimaksud. Mereka setidaknya
terdapat sevelas indicator-indikator kualitas, yaitu kualitas:
1. Empati
(melibatkan persaan orang lain)
2. Dalam
mengungkapkan dan memahami perasaan
3. Dalam
megalokasikan rasa marah
4. Kemandirian
5. Dalam
kemampuan menyelesaikan diri
6. Disukai
atau tidak
7. Dalam
kemampuan memecahkan masalah antar pribadi
8. Ketekunan
9. Kesetiakawanan
10. Kesopanan
11. Sikap
hormat
Akan
tetapi dalam perkembangannya, konsep kecerdasan emosi baru dikenal secara luas
pada pertengahan tahun 90-an dengan diterbitkannya buku karya Daniel Goleman
yang berjudul Emotional Inteligence pada tahun 1995. Sebenarnya Daniel Goleman
telah melakukan riset kecerdasan emosi (EI) cukup lama, yaitu lebih dari
sepuluh tahun. ia menunggu waktu untuk memunculkan dan menggunakan bukti ilmiah
yang kuat dalam peluncuran bukunya. Usaha Goleman tdiak sia-sia, peluncuran
bukunya yang ditunjang hasil penelitian tersebut mendapat sambutan positif yang
luar biasa, baik dari akademisi maupun praktisi (Lowrence E, Shapiro, 2001).
Dalam tempo dingkat bukunya terjual jutaan eksemplar di seluruh dunia dan
hingga kini telah diterjemahkan ke dalam verbagai bahasa di dunia.
Ia
ingin membuktikan bahwa kecerdasan emosi memang betul sebagai penentu (dominan
faktor) keberhasilan individu dalam kehidupannya. Ternyata, berdasarkan hasil
peneltiiannya, terbukti secara signifikan bhawa individu yang memiliki
kecerdasan emosi yang tinggi akan menjadi anak yang lebih bahagia, lebih
eprcaya diri, lebih popular, dan lebih suskes di sekolah dan di masyarakat.
Individu tersebut lebih mampu menguasai gejolak emosinya, lebih dapat menjalin
hubungan baiknya dengan orang lain (bersosialisasi), lebih dapat mengelola
stress dan memiliki kesehatan mental yang lebih baik (Goleman, 2001)
Berdasarkan
kajian di atas secara kosneptual, kecerdasan emosi dapat dibatasi pengertiannya
sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang
lain, kemmapuan memotovasi diri sendiri, serta kemampuan mengelola emosi dan
perilaku sosial dengan baik pada diri senduru dan dalam membina hubungan dengan
orang lain (Agus Nggermanto,2001).[7]
Unsur karakteristik
kecerdasan sosial emosional pada anak
Pada
uraian tentang kosnep kecerdasan meosi, sebagaimana yang telah dipaparkan
sebelumnya, sebagian unsur dan karakteristik kecerdasan emosi sudah dapat
dikenali. Misalkan saja, kite telusuri konsep yang diajukan Peter Salovey dan
John Mayer terdapat uraian tentang unsur dan ciri yang seharusnya melekat pada
konteks kecerdasan emosi. Dengan kata lain ciri-ciri yag dapat dikenalo untuk
memahami kecerdasan emosi diantaranya adalah berbagai kualitas emosi seseorang
yang meliputi:
1. Empati
(melibatkan persaan orang lain)
2. Dalam
mengungkapkan dan memahami perasaan
3. Dalam
megalokasikan rasa marah
4. Kemandirian
5. Dalam
kemampuan menyelesaikan diri
6. Disukai
atau tidak
7. Dalam
kemampuan memecahkan masalah antar pribadi
8. Ketekunan
9. Kesetiakawanan
10. Kesopanan
11. Sikap
hormat
Jadi,
anak yang mempunyai kecerdasan emosi akan memiliki ciri yang berbeda dengan
anak lain seusianya, di mana ciri-ciri tersebut dapat dijadikan sebagai ukuran.
Sebagai pembanding, berikut adalah ciri-ciri kecerdasan emosi berdasarkan hasil
identifikasi yang diungkapkan oleh Daniel Golemam (2001). Ia menyampaikan bahwa
anak yang mempunyai kecerdasan emosi memiliki karakteristik sebagai berikut:
- Mampu memotivasi diri
- Mampu bertahan menghadapi frustasi
- Lebih cakap untuk menjalankan jaringan informalnya/nonverbal (memiliki tiga variasi, yaitu jaringan komunikasi, jaringan keahlian dan jaringan kepercayaan)
- Mampu mengendalikan dorongan hati
- Cukup luwes untuk menemukan cara/alternative agars asaran tetap tercapai atau untuk mengubah sasaran jika sasaran semula muskil dijangkau
- Tetap memiliki kepercayaan yang tinggi bahwa segala sesuatunya akan beres ketika sedang mneghadapi tahap sulit
- Memiliki empati yang tinggi
- Mempunyai keberanian untuk memecahkan tugas yang berat menjadi tugas yang kecil yang mudah ditangani
- Merasa cukup banyak akal untuk menemukan cara dalam meraih tujuan
Uraian
dan perincian tentang unsur dan karakteristik kecerdasan emosi yang lebih
sistematis pemetannya disajikan oleh Yusuf (2001)dan tampaknya pemetaan yang
beliah paparkan merupakan suatu sintesis (kesimpulan) daris ejumlah pandangan
ahli yang mendalami bidang ini yang berhasik ia kumpulkan.
Strategi Mengorganisasi Pengembangan Kecerdasan Sosial
Emosional Anak
Secara umum, strategi memiliki pengertian bagaimana
menyiasati atau menentukan bergabagai tindakan yang dianggap efektif dalam
mencapai suatu tujuan secara gemilang. Berhasil tidaknya suatu strategi yang
dipilih akan sangat tergantung kepada kemampuan guru dalam mengikuti
ketentuan-ketentuan yang telah digariskan. Jika pekerjaan guru diawali dengan
sekuat tenaga untuk memahami berbagai rambu-rambu yang telah digariskan,
kemudian menerjemahkan ke dalam pratik secara konsisten maka hampir dapat
dipstikan bahwa kerja guru tersebut akan mendapatkan hasil sesuai dengan yang
diharapkan.
Organisasi kegiatan untuk pengembangan kecerdasan
esmosi, secara umum relatif sama dengan kebutuhan untuk mengorganisasi kegiatan
pembelajaran lainnya. Terutama jika organisasi keinginan yang dimaksud
ditunjukan untuk peserta didik pada level yang sama. Apabila level
karakteristiknya sama maka perkembangannya akan mendekati kesamaan juga. (Anda
akan menemukan bagaimana mengeorganisasi kegiatan belajar di TK secara utuh
pada Modul 7). Satu hal yang terpenting bagi para guru adalah memahami
rambu-rambunya dan kekhasan dari setiap bidang pengembanga yang akan
ditanganinya. Agar para guru tidak tergelincir pada penyediaan lingkungan
belajar yang kurang sesuai atau bahkan keliru maka khusus pada bidang
pengembangan kecerdasan emosi diberikan sejumlah pedoman yang selayaknya
diperhatikan, yakni sebagai berikut:
1. Kegiatan
diorganisasikan berdasarkan kebutuhan, minat, dan karakteristik perkembangan
anak yang menjadi sasaran pengembangan kecerdasan emosi. Saijan lengkap tentang
hal ini dapat dipelajari pada Modul 6 yang terkait dengan prinsip orientasi
perkembangan, bahwa kegitan yang dianggap tepat apaila dapat mengkomodasi
tahapan dan tugas-tugas perkembangan anak.
2. Kegiatan
yang diorganisasikan bersifat holistik (menyeluruh). Kegiatan bukan hanya
semata-mata ditujukan langsung untuk memacu perkembangan kecerdasan emosional
anak, tetapi juga harus memperhatikan dimensi kesehatan, keamanan, dan
kenyamanan anak dalam beraktivitas.
3. Kegiatan
diorganisasikan sesusai dengan kondivitas pengembangan kecerdasan emosi, di
antaranya dikondisikan dalam suasana kekeluargaan (friendship), suasana yang penuh kasih sayang, suasana yang penuh
kesejukan dan kedamaian, tetapi tetap dapat menepatkan setiap kompenen secara
bertanggung jawab atas setiap peran yang dipegangnya.
4. Kegiatan
diorganisasi pada suasana yang dapat memberikan kesempatan pada anak untuk
menyampaikan gagasan-gagasannya, memberikan kesempatan pada anak untuk
memberikan masukan dalam pengambilan keputusan.
5. Tugas
guru diarahkan untuk membiing dan menfasilitasi bukan untuk mengatur berbagai
perilaku sacara otoriter.
6. Peraturan
kelas diorganisasikan secara jelas batas-batasnya sehingga tumbuh kesadaran
untuk menaatinya secara utuh dan bertanggung jawab.
7. Pembimbingan
dan kegiatan memfasilitasi dilakukan dengan penuh kasih sayang sehingga dapat
mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat dan mampu
bersosialisasi dan berkomunikasi secara efektif. Kasih sayang yang dimaksud di sini
adalah kasih sayang normatif dan penuh ketulusan, yang berarti kasih sayang
yang menyediakan situasi yang baik bagi perkembangan emosi anak.
8. Organisasi
kegiatan juga member kesempatan dan mengajurkan agar orang tua dapat
berpartisipasi dengan anak-anaknya dalam kegiatan sekolah.
9. Komunikasi
dan hubungan yang dibangun menciptakan suasana yang tidak menuntut penilaian,
tetapi menarik, menggairahkan, dan menunjukkan penerimaan sehingga dapat member
landasan memadai dalam pertumbuhan sosial emosi.
Demikian
strategi umum dalam mengorgnisasikan kegiatan untuk kepentingan kecerdasan
emosi, sedangkan secara khusus dapat disesusaikan dengan situasi dan kondisi
yang menyertainya. Kecerdasan emosi seperti yang telah dipaparkan sebelumnya
lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan perlakuan. Agar setiap anak
dapat berkembang kecerdasan emosinya secara lebih matang, harus dilakukan
sejumlah cara dan langkah terkait khusus. Di antara tindakan yang dianjurkan
oleh Tartusi (1997) dan oleh Jamil (2002), terdapat beberapa hal yang harus
prasekolah, di antaranya berikut ini.
1. Menjadi
contoh yang baik.
Untuk
menjadi contoh bagaimana mengola emosi yang baik, guru harus menguasai bidang
yang sedang diajarkan. Asahlah kecerdasa emosi guru secara terus-menerus melalui
berbagai pengalaman sehari-hari. Anak akan mempelajari proses pembelajaran
emosi, selaib dengan mendengarkan dan melakukan nasihat guru, juga dengan
mengamati dan meniru hal-hal yang dilihatnya pada diri guru, bagaimana guru
mengola emosi, menangani problema, mengkomunikasikan harapan, dan sebagainya.
2. Mengajarkan
pengenalan emosi.
Kemampuan
memahami perasaan sendiri membuat orang memiliki kepekaan tinggi dalam
pengembilan keputusan, juga dalam beberapa hal lain. Untuk mengajarkan hal itu,
perhatian dan kepekaan terhadap anak merupakan syarat utama. Jika anak yang
biasanya menyukai mainan mobil-mobilan tampak tak terniat lagi pada mainan
favoritnya, kita bisa mengatakan, “Lho, kok tumben, mainanya ditinggal
sendirian disitu, kenapa? Lilo bosan ya? atau “Jangan-jangan Lilo lagi kesel
nih …”. Tanggapan seperti ini, akan
membuat mengenali perasaan yang sedang dialaminya.
3. Menanggapi
perasaan anak.
Apabila
setiap perasaan anak didengarkan dan ditanggapisecara pas, anak akan merasa
bahwa dirinya merupakan sosok yang penting di mata orang tuanya. Apabila
ditanggapi, diperhatikan, dan dipahami si anak akan merasa yakin bahwa ia
diterima, dikehendaki, dan dianggap penting dilingkungannya. Jadi, sebagai
pendidik emosi yang baik, kita harus tanggap terhadap perasaan anak. Biarkan
anak tahu bahwa kita memahami perasaannya.
4. Melatih
pengedalian anak.
Dalam
sebuah penelitian, sekelompok anak dikumpulkan. Pada mereka diberikan dua
pilihan, boleh langsung mengambil satu permen yang enak. Lalu ke luar ruangan, atau
menunggu beberapa menit dan bisa mendapatkan dua permen. Kelompok langsung
terbagi dua, mereka yang langsung ingin mendapatkan permen (dan segera
menghabiskannya) dan mereka yang bersedia menunggu untuk mendapatkan dua
permen. Setelah di amati bertahun-tahun kemudian, anak-anak di kelompok kedua
ternyata berkembang menjadi popular, menyenangkan, suskes dalam pergaulan
sosialnya. Hal sebaliknya terjadi pada kelompok pertama. Apa yang membedakan
mereka? Anak di kelompok kedua yang mau menunggu beberapa menit agar
mendapatkan permen tambahan ternyata memiliki keunggulan. Mereka mampu menunda
pemuasan keinginan. Kemampuan tersebut memang penting oleh karena itu, para
guru harus dapat melatihkannya pada anak, tentunya dengan cara-cara dan
pengorganisasian yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
5. Melatih
pengelolaan emosi.
Kemarahan
hendaknya jangan dikubur tanpa diberi saluran karena hasilnya adalah timbunan
yang bisa meledak secara dahsyat. Namun, membiarkan setiap kemarahan langsung
tersalur begitu saja juga tidak tepat. Kemarahan harus di kelola seperti kata
aris toteles, siapa pun bisa marah. Marah itu mudah, akan tetapi marah pada
orang yang tepat, dengan kadar yangs sesuai dengan waktu yang tepat, demi
tujuan yang benar dan dengan cara yang baik, bukanlah hak yang mudah. Memang,
mengelola emosi secara pas baik itu kemarahan atau kegembiraan sungguh tidaklah
mudah. Tidak tercipta begitu saja, mesti melalui proses panjang dan intensif.
Namun, sekali terkuasai maka kemampuan ini akan sungguh melicinkan jalan anak
menuju masa depan. Keterampilan ini membuang kemungkungkinan terjadinya hal-hal
yang tak mengenakan dan emrugikan karena kegagalan mengelola emosi.
6. Menerapkan
displin dengan konsep empati.
Empati
merupakan kemampuan pergaulan yang amat mendasar. Orang yang berempati akam
lebih mampu mengungkap sinyal sosial tersembunyi tentang kebutuhan dan
keinginan orang lain.sinyal ini bisa ditangkap lewat nada suara, raut wajah dan
hal lainnya. Empati anak ini bisa dikembangkan setiap hari lewat
percakapan-percakapan ringan.
7. Melatih
keterampilan komunikasi.
Salah
satu bagian dari kecerdasan emosi adalah kemampuan berkomunikasi dengan orang
lain. Kemampuan di bidang ini, seperti menyatakan gagasan, perasaan dan konsep
kepada orang lain, kemmapuan bergaul dan menyesuaikan diri harus dilatih sejak
dini. Sering-seringlah untuk mengundang anak mengemukakan pendapat ataupun
perasaannya, lalu dengarkan dan
tanggapi.
8. Mengungkapkan
emosi dengan kata-kata.
Luapan
emosi yang tidak terungkap secara fokus dan jelas bisa mengarah pada perilaku
deskriptif. Anak yang tidak bisa mengungkapkan bahwa dia sesungguhnya ”merasa
cemburu karena mainan adik atau temannya lebih bagus” bisa jadi akan bertindak
agresif, dengan merusakan mainan adik/temannya.
9. Memperbanyak
permainan dinamis
Permainan
yang melibatkan beberapa anak akan mempertajam kemampuan bersosialisasi anak,
juga bisa mneguji daya tahan emosi anak selama proses bermain. Dengan permainan
yang dinamis, anak belajara memusatkan perhatian lebih pada proses yang baik,
bukan pada hasil akhir. Jika keadaan menerima kemenangan dan kekalahan sering
berlangsung dan dirasakan, anak tidak kaan terkaget-kagetlagi dengan kondisi
apa pun. Emosi anak pun menjadibiasa terkontrol. Saat kalah ia tidak frustasi,
ketika menang pun tidak gembira berlembiha.
10. Memperdengarkan
music indah dengan ritme teratur
Penelitian
membuktikan bahwa music sangat mempengaruhi perkembangan IQ dan EI seseorang.
Seseorang yang sejak kecil terbiasa mendengarkann music akan lebih berkembang
kecerdasan emosi dan inteligensinya dibandingkan anak yang jarang mendengarkan
music. Namun, yang dimaksud di sini adalah irama dan nada-nada yang teratur
yang didapat dari perpaduan yang seimbang antara beat, ritme dan harmoni. Beat
dapat mempengaruhi tubuh, ritme dapat mempengaruhi jiwa, sedangkan harmoni
mempengaruhi roh. Contohnya dalam suatu konser sudah terdapat dipastikan bahwa
tidak ada satu penonton pun atau pemusiknya yang tidak bergerak. Semuanya
bergoyang bahkan kadang lepas control.
11. Marah,
sedih, dan cemas bukan hal tabu.
Mencerdaskan
emosi anak tak berarti pendidik harus selalu tampil “sempurna”. Sesekali
berselisih dengan pasangan, merasa sedih dam kecewa, atau merasa cemas di depan
anak-anak tidak menjadi soal sepanjang mereka juga melihat bagaimana cara kita
menyelesaikan semua persoalan itu secara cerdas.
12. Menyelimuti
dengan iklim positif.
Iklim
yang selalu meneylimuti kita, amat sangat mempengaruhi hasil pembelajaran
emosi. Iklim positif, seperti kegembiraan, harapan, kasih sayang memberikan
dampak yang sungguh positif. Rasa tawa bahagia menolong kita berfikir dengan
wawasan yang lebih luas dan memungkinkan kita bernegoisasi lebih bebas, juga
membantu kita menjadi lebih peka pada beragam hubungan, juga pada harapan. Harapan mempunyai peran
mengagumkan mereka yang optimis dan bersemangat mampu menangani aneka
persoalan. Pengembangan kecerdasan emosi perlu disesuaikan denan kemampuan
pendidik,ketersediaan sarana, kondisi lingkungan dan sebagainya. Hal ini yang
terpenting adalah lingkungan si sekitar anak, dimana ia berada secara pedagogis
mupun psikologis di sekitar anak, di mana pun ia berada secara pedagogis maupun
psikologis dapat diciptakan sesuai dengan keperluan pengembangan kecerdasan emosi anak.
C.
Peran Pematangan Anak Usia Dini
Faktor
pematangan dan faktor belajar kedua-keduanya mempengaruhi perkembangan emosi
dan sosial anak prasekolah. Namun demikian, faktor elajar penting karena
belajar merupakan faktor yang lebih dapat dikendalikan. Sesungguhan faktor
pematangan juga dapat sedikit dikendalikan, tetapi hanya dengan cara
mempengaruhi kesehatan fisik dan memelihara keseimbangan tubuh, yaitu melalui
pengendalian kelenjar yang sekresinya digerakkan oleh emosi. Sebaliknya,
terdapat berbagai cara untuk mengendalikan lingkungan dalam rangka menjamin
pembinaan pola emosi yang diinginka. Dalan hal ini bantuan ahli diperlukan
untuk menghilangkan pola reaksi emosional yang tak diinginkan sebelum
berkembang menjadi kebiasaan yang kuat. Menurut Seomantri Patmonodewo (1995),
perkembangan sosial emosional belajar dari respons terhadap tingkah laku anak.
Pada hakikatnya manusia
adalah mahluk sosial. Sejak dilahirkan manusia membutuhkan pergaulan dengan
orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Baik kebutuhan fisik, antara lain
anggota tubuh yang normal sehingga ia sama seperti anak lainnya, maupun
kebutuhan biologisnya yang melipu perasaan bagaimana ia diakui dan dihargai
oleh lingkungan tempatnya bersosialisasi.
Sosialisasi tidak hanya
dilakukan oleh orang dewasa, anak, bahkan bayi pun sudah dapat melakukannya.
Bayi dapat bersosialisasi dengan ibunya, misalnya bagi memberikan jawaban
senyuman ibunya dengan senyuman pula atau menangis ketika ia lapar. Tangisan
ini dilakukan sebagai tanda bahwa ia mensosialisasikan kebutuhnannya.
Bagaimanakah kondisi itu terjadi? Secara alamiah hal itu terjadi dan faktor
penyebab utamanya lebih pada dukungan kematangan. Hal tersebut dapat dibuktikn
dengan uraian berikut. Pada individu mana pun ternyata perkembangan intelektual
penghasialan kemampuan untuk memahami makna yang sebelumnya tidak mengerti,
memperhatikan satu rangsangan dalam jangka waktu yang lebih dan memtuskan
ketegangan emosi pada satu objek. Demikian pula kemampuan mengingat dan menduga
mempengaruhi reaksi emosional. Dengan demikian, anak-anak menjadi relatif
terhadap rangsangan yang terjadinya tidak memperngaruhi mereka pad usia yang
lebih muda.
Begitu pula pada kondidsi fisik,
perkembangan kelenjar endokrin penting untuk mematangkan perilaku untuk
menopang reaksi fisiologis terhadap stress. Kelenjar adrenalin yang memainkan
peranan utama pada emosi mengecil secara tajam segera setelah bayi lahir. Tidak
lama kemudian kelenjar itu mulai membesar lagi dan membesar dengan pesat sampai
anak usia 5 tahun. Pembesarannya melambat pada usia 5 sampai 11 tahun, dan
membesar lebih pesat lagi sampai anak berusia 16 tahun. Pada usia 16 tahun
kelenjar terseut mencapai kembali ukuran semula, seperti pada saat anak lahir.
Hanya sedikit adrenalin yang diproduksi dan dikeluarkan sampai saat kelenjar
itu membesar. Kelenjar adrenalin tersebut, sangat berpengaruh pada keadaan
emosional anak usia prasekolah.
D.
Analisis
Pengembangan Sosial Emosional Terhadap Konsep Kecerdasan dan Peran Pematangan Belajar
Kaitan
pengembangan sosial emosional dengan konsep kecerdasan yaitu melihat dari segi
sosial emosional anak di mana segala sesuatu berkaitan dengan kecerdasan jika
seorang anak memiliki kecerdasan dalam bersosial maka dalam langkah selanjutnya
anak akan lebih mudah dalam bertinteraksi dengan lingkungan sekitar. Kecerdasan
emosi anak juga dapat mempengaruhi perilaku anak, mempengaruhi peneysuaian
sosial anak yang mana sesuai dengan pandangan baron.
Selain
itu juga keterkaitan pengembangan sosial emosional dengan konsep kecerdasan dapat:
1. Menumbuhkan kesadaran
emosi diri anak, anak dapat mengetahui emosi diri sendiri, anak dapat merasakan
perasaan yang sedang bergejolak dalam dirinya seperti (marah, senang, takut,
dan sedih), anak dapat meneysuaikan diri dengan nilai-nilai yang diyakininya.
2. Penilaian
diri yang tepat (accurate self assessment), anak dapat mengetahui kekuatan
keterbatasan dirinya, anak dapat menilai dirinya dengan tepat, anak dapat
menghargai kelebihan dan kekurangan orang lain
3. Keyakinan
akan kemampuan sendiri (self confidence)
Anak dapat meyakini dirinya, anak dapat menghargai
diri sendiri dan percaya dengan kelebihan dirinya, anak mempunyai keyakinan
diri yang tinggi.
4. Komunikasi
(communiocation)
Anak mampu berkomunikasi dengan baik ketika
menyampaikan pesan, mampu berterus terang dalam masalah yang rumit.
Jadi, keteranpilan sosial
emosional dapat menjadikan seseorang mudah bergaul, berkomunikasi dan dapat bekerja
sama dengan baik.
Selanjutnya
keterkaitan pengembangan sosial emosional dengan peran pematangan dan belajar
yaitu, setiap pengembangan sosial emosional harus disertai dengan pematangan
dan belajar sehingg dapat menumbuhkan sosial emosional yang tinggi. Hal terseut
dapat dilakukan melalui :
1. Pengalaman
dan lingkungan
2. Meningkatkan
peran pembelajaran
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
Perkembangan
sosial anak prasekolah ditandai dengan bermulanya perkembangan persahabatan.
Pada umumnya ketika anak berusia 4 tahun, mereka sudah dapat menjaga
persahabatan yang dibina. Ketika berhadapan dengan temanya, anak akan
menunjukan sikap yang sering kali lebih sabar, lebih mudah bekerja sama, lebih
positif dan lebih sedikit menunjukan ketidak setujuan (Stroufe, Cooper dan De
Hart ,1992 Dikutip Drisscoil,2005).
Seperti
halnya orang dewasa, anak usia 3-4 tahun telah mampu mengekspresikan
perasaanya. Setiap saat, anak mencoba mencari perhatian kita dengan berbagai
macam bentuk reaksi emosional, seperti marah,senang,ataupun sedih. Antara usia
2-3 tahun, anak mulai menggunakan sejumlah istilah untuk menunjukan emosinya
(Ridgeway, Waters & Kuczaj dikutip Santrock, 2001).
Pengembangan
sosial emosional pada anak usia dini dapat dilakukan melalui bebrapa cara, diantaranya
adalah mempelajari artifak, merayakan hari ulang tahun, dan buletin bantuan.
Howard
Gardner (1993) menegaskan bahwa skala kecerdasan yang selama ini dipakai,
ternyata memiliki banyak keterbatasan sehingga kurang dapat meramalkan kinerja
yang sukses untuk mas depan seseorang. Menurut Gardner, kecerdasan seseorang
meliputi unsur-unsur kecerdasan matematika logika, kecerdasan bahasa,
kecerdasan musikal, kecerdasan visual spasial, kecerdasan kinestetis,
kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis.
Faktor
pematangan dan faktor belajar kedua-keduanya mempengaruhi perkembangan emosi
dan sosial anak prasekolah. Namun demikian, faktor elajar penting karena
belajar merupakan faktor yang lebih dapat dikendalikan. Sesungguhan faktor
pematangan juga dapat sedikit dikendalikan, tetapi hanya dengan cara
mempengaruhi kesehatan fisik dan memelihara keseimbangan tubuh, yaitu melalui
pengendalian kelenjar yang sekresinya digerakkan oleh emosi.
Keteranpilan
sosial emosional dapat menjadikan seseorang mudah bergaul, berkomunikasi dan
dapat bekerja sama dengan baik.
Selanjutnya
keterkaitan pengembangan sosial emosional dengan peran pematangan dan belajar
yaitu, setiap pengembangan sosial emosional harus disertai dengan pematangan
dan belajar sehingg dapat menumbuhkan sosial emosional yang tinggi. Hal tersebut dapat dilakukan melalui
:
1. Pengalaman
dan lingkungan
2. Meningkatkan
peran pembelajaran
DAFTAR PUSTAKA
Ali
Nugraha, dkk. 2013. Metode Pengembangan Sosial Emosional. Tangerang Selatan:
Universitas Terbuka.
Ary
Gnanjar Agustian. 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spritual.
Jakarta : Arga Wijaya Persada.
Daniel
Goleman. 2002. Kecerdasan Emosional. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Prof.
Dr. H. Hamzah B. Uno, M.Pd.,dkk. 2010. Mengelola Kecerdasan Dalam Pembelajaran.
Jakarta : Bumi Aksara.
Winda Gunarti, dkk. 2008. Metode Pengembangan
Perilaku dan kemampuan Dasar AUD. Tangerang Selatan : Universitas Terbuka.
[1] Ali Nugraha, dkk. 2013. Metode
Pengembangan Sosial Emosional. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka. Hlm.
5.18 – 5.31
[2] Winda Gunarti, dkk. 2008. Metode
Pengembangan Perilaku dan kemampuan Dasar AUD. Tangerang Selatan : Universitas
Terbuka. Hlm. 3.21-7.14.
[3] Prof. Dr. H. Hamzah B. Uno,
M.Pd.,dkk. 2010. Mengelola Kecerdasan Dalam Pembelajaran. Jakarta : Bumi
Aksara. Hlm. 11-14
[4] Ibid. Hlm. 48-50
[5] Ary Gnanjar Agustian. 2001.
Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spritual. Jakarta : Arga Wijaya
Persada. Hlm.56-57
[6] Daniel Goleman. 2002. Kecerdasan
Emosional. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Hlm.57-59
[7] Ali Nugraha., dkk. Opcit. Hlm. 5.19 – 5.31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar